Bocah berusia 11 tahun itu bernama Supriyadi, benih jejaka Pasundan yang berhasil membuat saya terbuai dalam detik-detik bersamanya. Ya..dialah teman baru saya. Seorang anak yang tiba-tiba memperkenalkan dirinya denga fasih, bangga, disertakan senyum renyah dari gigi kuningnya. Gigi yang ompong dan banyak sisa cemilan hari kemarin bergelayut disela-selanya. Pagi itu tiba-tiba dia datang menghampiri tenda kami. Duduk didekat sisa perapian yang kami buat semalam, sambil membawa botol air mineral ukuran 1 liter. Botol itu dipenuhi air jernih dari aliran anak sungai Curuk Nangka. Botol yang dia tenteng kesana kemari dengan bangganya. Pertama melihatnya saya langsung menyukainya, dia berhasil menghipnotis kami di pagi itu dengan logat khas Sunda dan guyonan lugunya yang membuat bibir saya semakin lebar. Dalam detik-detik itu Supri berhasil menghipnotis kami, dalam menit-menit itu Supri berhasil menjadi teman kami, dan dalam jam-jam itu kami seperti telah lama mengenalnya. Kami menunggu pagi dengan mengobrol bertiga didekat perapian, sambil merasakan udara sejuk yang menyelimuti kaki Gunung Salak kala itu. Tak lama kemudian, kami memutuskan untuk naik keatas, menikmati kemolekan Curug-curug yang airnya bening berguguran. Supri begitu senang ketika kami mengajaknya keatas bersama, tanpa ragu dia langsung membuang botol air mineralnya. Dia seperti menemukan teman, begitu pula dengan kami. Supri pun ikut bersama kami, dalam perjalanan menuju curug-curug tersebut, Supri tak hentinya bercerita. Gayanya sangat asing ditemui dalam sosok bocah kota Jakarta yang terlampau eksklusif. Supri begitu ramah, kami serasa touris yang sedang mendapatkan penjelasan dari si empunya daerah. Lucu memang karena dia memang lucu. Bahkan dia menyuruh saya minum dari mata air yang menetes disela-sela dinding tebing, kebetulan saat itu kita lupa membawa air. Dia terus bicara, mulai dari bekas tipe-x dirambut kasarnya, monyet-monyet di Curug Nangka yang suka mencuri makanan, jejak-jejak pohon yang tumbang, rumahnya yang terletak di desa Sinarwangi, ayahnya yang telah meninggal dunia, ibunya yang bekerja serabutan, serta kedua kakaknya yang merantau ke Bandung. Bahkan dia berkisah tentang Jakarta, seolah-olah dia pernah kesana “Jakarta mah macet, panas, banyak gedung, riweh, mahal” begitu ucapnya, saya hanya bisa tertawa mendengarnya.
Pagi itu terasa jauh berbeda, sudah berkali-kali saya ke tempat ini, tapi Supri memberikan warna baru dalam berjalanan ini. Sampai jumpa bocah pemilik senyum paling indah sedunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar