Jalan itu bernama Ujung Aspal.
Dusun teduh dengan rimbunan pohon rambutan dan petak-petak sawah yang menyapa tentram ditiap paginya.
Tempat para bocah saling melempar canda dan kecebong-kecebong yang memulai orkestrnya di musim kawin bulan Desember.
Seingat si kecebong, dulu ia bebas bernyanyi sambil menghirup sejuknya kabut batas alam dengan bonus percikan embun yang menengger didaun kaca beling.
Dimasa itu, sang kecebong adalah aristokrat di hampir tiap petak sawah dan rawa Ujung Aspal.
Suara dentum orkestra si kecebong beserta sanak familiynya akan menggema diiringi ritme air hujan yang membasahi tanah merah. Tanah yang belok, tanpa aspal, tanpa sandal.
Kini, si kecebong itu telah menjelma menjadi kodok tua. Orkestranya tutup. Nyanyiannya tak lagi terdengar.
Suaranya tak berdaya beradu dengan deru pekik kendaraan bermotor. Si kodok tua tergusur.
Didesak pergi dari permainya kampung halaman.
Tak lagi ada keemasan padi dan wajah sinis si kerbau yang diejeki bocah-bocah dekiL. Bocah yang tubuhnya wangi aroma matahari.
Rawanya hilang berganti jejeran kontrakan.
Kulitnya mengkerut, tak kuasa lagi bersembunyi dari rekahan siang.
Dia berkeringat, ingin rasanya minggat.
Si kodok tua gusar dan nyasar.
Kini, si kodok tak lagi dapat bernyanyi setiap hari.
Suaranya mendem tergilas, tergerus, tererosi zaman.
Wajahnya murung dengan tatapan nanar.
Kini hanya ukulele dan rintik hujan di bulan yang tak lagi Desember yang bersedia temani rentahnya di Ujung Aspal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar