“Alur realita lebih dramatis ketimbang naskah sinetron televise”
Kadang posisi saya sebagai manusia, membuat saya harus berpikir. Sampai mati pun saya atau manusia lainnya harus tetap berpikir. Kadang saya bertanya, deritakah atau sebuah keistimewaan? Baiklah sekarang saya sebut saja itu sebagai keistimewaan. Mengapa istimewa? Karena dengan berpikir, saya bisa memerintahkan mata untuk melihat deretan penjual pakaian bekas di Pasar Senen yang diserbu masyarakat kelas buncit perkotaan atau menjadi penikmat romansa muda-mudi yang melepaskan hasrat ABGnya di flyover Pasar Rebo. Itulah kehebatan sang nalar, nalar juga tak sungkan untuk memerintahkan saraf-saraf dihidung ini untuk meresapi aroma wc umum di sepanjang terminal Kampung Rambutan atau bahkan memaksa telinga ini untuk mendengar kalimat “neng…minta neng…anak saya belum makan tiga hari”. Sang nalar memang liar, saking liarnya, dia dapat mengkrenyutkan dahi ini ketika saya rasa bahwa tak mungkin ada jalan yang diwarnai kaum waria dan pekerja seks komersial seperti sepanjang jalan Bekasi Timur Raya (Cipinang Besar). Jelaslah sudah, pasti nalar juga lah yang menjadi dalang dibalik tanda tanya besar dipojok siang itu.
Siang itu lagi-lagi nalar mendorong saya untuk bermain dengan batas logika dan realitas yang ada. Saya pun dipancing untuk bertanya ketika kaki ini melintasi deretan halte tua disepanjang jalan Pemuda, langkah itu diiringi dengan pertanyaan “Mengapa disiang bolong seperti ini harus ada puluhan mahasiswa yang rela duduk berjam-jam hanya demi menunggu datangnya patas jurusan Pulo gadung-Kampung Rambutan”. Bukankah patas itu sangat keras, bahkan para penumpangnya harus berkejaran dengan aspal apabila ingin menaikinya, juga harus berhadapan dengan desakan keringat Jakarta apabila ingin merasakan kursi Rp.2000,- yang menjadi primadona kalangan mahasiswa, buruh, dan para pekerja disepanjang jalan yang dijamahi patas tersebut. “Se-kere itukah masyarakat ibu kota? saya rasa pasti tidak, pasti ada alasan lain yang mendorong mereka mau menitipkan nyawanya pada uang Rp.2000,- tapi apa alasannya?”. Entahlah, mungkin karena uang Rp.2000,- tidak mampu menyodok telinga WAKIL RAKYAT untuk menyediakan fasilitas umum yang layak untuk dinikmati RAKYATnya. Tidak berhenti sampai disitu, nalar tetap menodong saya dengan bunga pikiran lainnya, “Kalau begitu sejahterakah mereka?”. Saya mulai menyerah atas pertanyaan tersebut, “sejahtera? bukankah itu kata paling klise yang mewarnai buku sejarah?!” jawab saya sambil menyeringai. Lalu nalarpun menjawabnya “Jika demontrasi dan sindiran nyinyir masih bolak-balik di Bundaran Hotel Indonesia, itu pertanda bahwa mahasiswa, buruh, dan para penghuni patas itu sudah lama tidak berjabat tangan dengan kata sejahtera”. Sebuah jawaban yang kembali mengoyak posisi kita sebagai homo sapiens (manusia berpikir).
Sudahlah, sejenak lupakan deretan wajah-wajah di halte tadi dan biarkan saya nikmati kembali siang yang semakin merekah kala itu. Semoga untuk kali ini sang nalar tidak mengganggu kenikmatan terik siang dengan pertanyaan-pertanyaan absurd-nya. Wah patasnya datang! Bagaimana jika saya ikut menjejakan kaki di dalamnya, menjadi bagian dari penghuninya yang dikatakan oleh si nalar sebagai manusia yang dialienasi dari kata sejahtera. Benar saja, halte mulai kosong, orang-orang mulai berlarian ketika melihat patas miring itu dari kejauhan. “Serbu……” mungkin itulah kata yang mengelayuti benak mereka. Benar-benar seperti para gladiator yang akan menghabisi lawan-lawannya. Kali ini si nalar sedikit cuek, namun ada yang mengusik sisi humanis saya sebagai manusia. Bukan tentang jubalan manusia dengan paduan aroma keringatnya yang juga bergelayut satu kaki dipintu patas, bukan juga tentang karat di dinding patas yang jika tersengat matahari persis seperti oven raksasa dengan manusia sebagai menu siangnya, dan bukan pula tentang para hidung belang yang menikmati gesekan demi gesekan di kerumunan itu. Ada yang lebih merenyuhkan kondisi melankolis ini, ya…….pertanyaan tentang bocah itu. Bocah apatis yang seakan tidak lagi peduli tentang ada dimana dia saat itu. Saya kesal, dan kembali mempertanyakan, “Mengapa saya harus mendengar alunan sumbang dari gitar yang tuannya bahkan masih ingusan”. Pertanyaan itu pun terus bercabang seperti selter TransJakarta yang melilit sempit jalanan ibu kota. Sebagai mahasiswi pendidikan, saya terusik dengan pertanyaan “Dimana seragam putih merahnya? Masihkah dia ingat dengan buku PR matematikanya? Mengapa dia masih bisa memangku tawanya di atas jemari kaki tanpa sendal yang polos mencium panasnya mesin bus kota”.
Saya pun dibuatnya semakin tidak habis pikir, mungkin itulah mengapa kita harus selalu berpikir. Lagi-lagi pertanyaan muncul tentang bocah ingusan pemiliki gitar sumbang itu, untuk kemudian mengganggu normalitas otak saya sebagai manusia yang semestinya berpikir. “Mengapa suara sumbang itu sangat suka bersahabat dengan debu-debu di halte, kerasnya cibiran bahkan bentakan dan keroncongan perut yang terus bersahutan dengan gemuruh keluh. Mengapa bocah itu memilih menu siang yang begitu kelaparan?. Mengapa menggumamkan teriknya Jakarta dan tiap keringat yang jatuh lewat petikan suara minor masyarakat miskin kota”. Dimana orang tuanya? Ah tidak… tidak, dimana Rajanya? Rakyat siapakah bocah itu? Mengapa terlantar di tengah siang yang terlalu bolong seperti kala itu?”.
Rupanya kali ini nalar sedikit kalah, pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan mengambang dengan jawaban yang mungkin akan banyak ditemui di sepanjang jalan Ibu Kota. Sayangnya saya dan nalar hanya sampai pada pernyataan yang berlabuh dalam bentuk kata “semoga”. Semoga saja para penghuni patas dan juga bocah dekil itu tidak berfatamorgana, berfatamorgana dan berkata “ini baik-baik saja, pasti Raja merasakan keroncongan perut yang sama! pasti Raja juga mendengarkan alunan sumbang yang sama!”, tapi nyatanya, bahkan Raja tak pernah tau jika mereka adalah rakyatnya. Raja tetap subur dengan rumput-rumput istananya dan rakyat-rakyat itu tetap kering dalam utopianya.
Riuh rintih diatas senyuman kecil bus kota
menelisik telinga, seakan jeritannya sampai ke hati
suara minor yang terbungkus cambukan zaman
dipaksa dan terpaksa tercipta tuk pemanis tuntutan metropolis
petikan senar cempreng dari gitar sumbang bertuan murung , iringi perjalanan ini
Jemari dekil nan tegarnya jawab erotisme eksistensi kekuasaan,
tersenyum dalam pandangan sinis kemarginalan,
inikah transisi yang kau janjikan!?
Yang ditransisi terabaikan, yang mentransisi terjerumus rakus bagai kakus.
(Gitar Sumbang, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar