Ini pengalaman pertamanya naik kereta ekonomi. Kereta rakyat dengan jutaan cerita yang kata orang ini dan itu. Setelah menunggu hampir 3,5 jam. Tepat pukul 22.20 peluit raksasa nyaring berdenging digendang telinga gadis keturunan Jawa Kalimantan itu. Telat 10 menit, ‘biasa’ ucap stasiun tua Jatinegara. Gadis keturunan Jawa Kalimantan itu terus mengkrenyutkan dahi, kala gesekan roda ngilu beradu dengan rel baja di tengah kerikil anak batu kali itu. ‘Jogja aku datang’ begitu katanya dalam hati, tanpa dia tahu sebelumnya apa itu kereta ekonomi Indonesia.
Ratusan orang berbaris rapih dengan tatapan nanar seakan ingin menerkam si kereta ketika berhenti. Sang gadispun merasa ada yang perlu dipersiapkan. Dia bersikap seribu kali lebih siap dari tentara yang mau terjun ke medan perang. Gerbong-gerbong itu terbuka, membuka pula ratusan kerut ibu kota. Gadis pemula itu menerobos ke dalam rangkaian gerbong dengan sopannya. Kata ‘permisi’ dan senyum tak henti dia lemparkan dalam gerah yang mengulita saat itu, tapi tak satupun ada yang menyambut. Wajah-wajah si empunya tiket seharga 35ribu membangunkan gadis Jawa Kalimantan itu dari tidur berkepanjangannya sebagai pemenuh sesak Jakarta. “ada yang salah dengan kereta ini” telisiknya dalam hati. Sambil memperhatikan sekat demi sekat penghuni kereta, gadis Jawa Kalimantan itupun menemukan jawab, dalam pikir yang tidak karuan egonya bergumam keheranan “ya…..aku sekarang ada diantara ketidakberesan pemerintah, aku rakyat yang bahkan nyawaku saja sangat tidak berharga dimata dunia transportasi negeri Garuda Pancasila ini, aku harus tetap berebut tempat duduk bahkan ketika aku punya tiket dan itu bangku yang memang tercantum dalam tiketku”. Diapun berbagi bangku yang harusnya untuk 2 orang, kini bangku itu dihuni oleh 3 orang, belum lagi mereka yang ada dijalan setapak didalam gerbong. Jalan yang seharusnya jadi arus bolak-balik para penjamah kereta rakyat itu.
Kereta rakyat itu terus melaju, berjejal sumpal dengan bangku yang saling berhadapan, 3-2 atau 2-2. Jangan harap kaki-kaki para penumpangnya dapat berselonjor tenang, pastikan kaki itu tertekuk selama hampir 12 jam. Ya…resiko memang namun tak terlihat sedikitpun gerut menyengsarakan pada wajah-wajah pemiliki tiket seharga 35ribu itu. Mereka terpaksa semangat, demi menjumpai sanak saudara yang menunggu didekat pematang sawah. Sang gadis tak sanggup terlelap, dia heran berbalut cemas ketika melihat beberapa ibu yang tertidur lelap dengan bayi dipangkuan gerah mereka. Bayi-bayi itu terpejam diantara kepulan racun nikotin yang bahkan si gadis saja hampir menangis menahan sesaknya. Sesak karena para patriarki itu sangat egois dengan bakaran tembakaunya. Si gadis geram ingin teriak, namun dia tersadar, inilah 35ribu mu, kau harus berbagi dalam segalanya bahkan asap rokok sekalipun. “aku benci perokok, 20 tahun hidupku baru kali ini aku dapat sedekat ini dengan kekejaman Jakarta, walaupun Jakarta sudah lewat jauh tadi, namun kejamnya tetap melekat sampai tiba di Lempuyangan nanti” begitu ungkapnya dalam hati. Malam semakin menunjukkan gulitanya, tidak ada pemandangan, hanya kegelapan dan sesekali suasana gerbong-gerbong bisu yang bisa dinikmati. Gadis itu duduk dibarisan belakang dekat toilet, larisnya para pedagang membuat toilet semakin sering dijamahi, ada yang bolak-balik membuang air dan begitu kontras dengan mereka yang tertidur tepat didepan pintu toilet tersebut. Tidur tepat didepan pintu toilet bukanlah hal yang mudah, kita harus siap bertarung dengan aroma khas yang menyengat dari limbah-limbah manusia itu. Entah bagaimana aroma dan orang-orang yang tertidur itu bisa begitu harmonis.
Hiruk pikuk para pedagang dengan berbagai tawaran dalam pikulannya berlalu lalang tanpa putus asa. Minuman, nasi, senter, kipas, bahkan para penyewa bantalpun ada. Kereta rakyat benar-benar merakyat. Inilah proyeksi rakyat dalam negeriku yang tak lagi lugu. Golongan yang hanya dapat mengakses segala hal yang termurah, itulah rakyat, golongan yang paling tidak digubris bahkan keselamatannya sekalipun, itulah rakyat. “Kamilah rakyat itu, mungkin para pemegang kebijakan mulai lupa, jika kamilah komponen sesungguhnya yang harus disejarterakan, dijamin, dan memiliki kekuasaan terbesar, sudahlah lupakan omong kosong itu, nyatanya ya saat ini, kereta ini dan mungkinkah aku bertahan sampai di Jogja nanti, entahlah”.
Gadis berambut panjang itu sibuk membunuh malam dengan daftar lagu yang diputar dalam telepon genggamnya. Tembang demi tembang terlantun ditelingannya, namun tetap tidak dapat melawan kuasa sang waktu. Malam begitu panjang hari itu, dan si kereta rakyat harus banyak berhenti dihampir tiap stasiun yang bersinggungan dengan kereta bisnis dan eksekutif. Dipaksa mengalah untuk memberikan jalan pada mereka yang membeli tiket jauh diatas penghuni kereta ekonomi ini. Berhentinya cukup lama dan cukup banyak, alhasil kereta ini harus menempuh waktu yang lebih lama lama dan lama lagi untuk sampai ke tujuan. Mungkin itulah sebabnya mengapa kereta ekonomi sering terlambat datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar