replika

replika
it's my mind

Minggu, 18 Desember 2011

NALAR LIAR

“Alur realita lebih dramatis ketimbang naskah sinetron televise”
Kadang posisi saya sebagai manusia, membuat saya harus berpikir. Sampai mati pun saya atau manusia lainnya harus tetap berpikir. Kadang saya bertanya, deritakah atau sebuah keistimewaan? Baiklah sekarang saya sebut saja itu sebagai keistimewaan. Mengapa istimewa? Karena dengan berpikir, saya bisa memerintahkan mata untuk melihat deretan penjual pakaian bekas di Pasar Senen yang diserbu masyarakat kelas buncit perkotaan atau menjadi penikmat romansa muda-mudi yang melepaskan hasrat ABGnya di flyover Pasar Rebo. Itulah kehebatan sang nalar, nalar juga tak sungkan untuk memerintahkan saraf-saraf dihidung ini untuk meresapi aroma wc umum di sepanjang terminal Kampung Rambutan atau bahkan memaksa telinga ini untuk mendengar kalimat “neng…minta neng…anak saya belum makan tiga hari”. Sang nalar memang liar, saking liarnya, dia dapat mengkrenyutkan dahi ini ketika saya rasa bahwa tak mungkin ada jalan yang diwarnai kaum waria dan pekerja seks komersial seperti sepanjang jalan Bekasi Timur Raya (Cipinang Besar). Jelaslah sudah, pasti nalar juga lah yang menjadi dalang dibalik tanda tanya besar dipojok siang itu.
Siang itu lagi-lagi nalar mendorong saya untuk bermain dengan batas logika dan realitas yang ada. Saya pun dipancing untuk bertanya ketika kaki ini melintasi deretan halte tua disepanjang jalan Pemuda, langkah itu diiringi dengan pertanyaan “Mengapa disiang bolong seperti ini harus ada puluhan mahasiswa yang rela duduk berjam-jam hanya demi menunggu datangnya patas jurusan Pulo gadung-Kampung Rambutan”. Bukankah patas itu sangat keras, bahkan para penumpangnya harus berkejaran dengan aspal apabila ingin menaikinya, juga harus berhadapan dengan desakan keringat Jakarta apabila ingin merasakan kursi Rp.2000,- yang menjadi primadona kalangan mahasiswa, buruh, dan para pekerja disepanjang jalan yang dijamahi patas tersebut. “Se-kere itukah masyarakat ibu kota? saya rasa pasti tidak, pasti ada alasan lain yang mendorong mereka mau menitipkan nyawanya pada uang Rp.2000,- tapi apa alasannya?”. Entahlah, mungkin karena uang Rp.2000,- tidak mampu menyodok telinga WAKIL RAKYAT untuk menyediakan fasilitas umum yang layak untuk dinikmati RAKYATnya. Tidak berhenti sampai disitu, nalar tetap menodong saya dengan bunga pikiran lainnya, “Kalau begitu sejahterakah mereka?”. Saya mulai menyerah atas pertanyaan tersebut, “sejahtera? bukankah itu kata paling klise yang mewarnai buku sejarah?!” jawab saya sambil menyeringai. Lalu nalarpun menjawabnya “Jika demontrasi dan sindiran nyinyir masih bolak-balik di Bundaran Hotel Indonesia, itu pertanda bahwa mahasiswa, buruh, dan para penghuni patas itu sudah lama tidak berjabat tangan dengan kata sejahtera”. Sebuah jawaban yang kembali mengoyak posisi kita sebagai homo sapiens (manusia berpikir).
Sudahlah, sejenak lupakan deretan wajah-wajah di halte tadi dan biarkan saya nikmati kembali siang yang semakin merekah kala itu. Semoga untuk kali ini sang nalar tidak mengganggu kenikmatan terik siang dengan pertanyaan-pertanyaan absurd-nya. Wah patasnya datang! Bagaimana jika saya ikut menjejakan kaki di dalamnya, menjadi bagian dari penghuninya yang dikatakan oleh si nalar sebagai manusia yang dialienasi dari kata sejahtera. Benar saja, halte mulai kosong, orang-orang mulai berlarian ketika melihat patas miring itu dari kejauhan. “Serbu……” mungkin itulah kata yang mengelayuti benak mereka. Benar-benar seperti para gladiator yang akan menghabisi lawan-lawannya. Kali ini si nalar sedikit cuek, namun ada yang mengusik sisi humanis saya sebagai manusia. Bukan tentang jubalan manusia dengan paduan aroma keringatnya yang juga bergelayut satu kaki dipintu patas, bukan juga tentang karat di dinding patas yang jika tersengat matahari persis seperti oven raksasa dengan manusia sebagai menu siangnya, dan bukan pula tentang para hidung belang yang menikmati gesekan demi gesekan di kerumunan itu. Ada yang lebih merenyuhkan kondisi melankolis ini, ya…….pertanyaan tentang bocah itu. Bocah apatis yang seakan tidak lagi peduli tentang ada dimana dia saat itu. Saya kesal, dan kembali mempertanyakan, “Mengapa saya harus mendengar alunan sumbang dari gitar yang tuannya bahkan masih ingusan”. Pertanyaan itu pun terus bercabang seperti selter TransJakarta yang melilit sempit jalanan ibu kota. Sebagai mahasiswi pendidikan, saya terusik dengan pertanyaan “Dimana seragam putih merahnya? Masihkah dia ingat dengan buku PR matematikanya? Mengapa dia masih bisa memangku tawanya di atas jemari kaki tanpa sendal yang polos mencium panasnya mesin bus kota”.
Saya pun dibuatnya semakin tidak habis pikir, mungkin itulah mengapa kita harus selalu berpikir. Lagi-lagi pertanyaan muncul tentang bocah ingusan pemiliki gitar sumbang itu, untuk kemudian mengganggu normalitas otak saya sebagai manusia yang semestinya berpikir. “Mengapa suara sumbang itu sangat suka bersahabat dengan debu-debu di halte, kerasnya cibiran bahkan bentakan dan keroncongan perut yang terus bersahutan dengan gemuruh keluh. Mengapa bocah itu memilih menu siang yang begitu kelaparan?. Mengapa menggumamkan teriknya Jakarta dan tiap keringat yang jatuh lewat petikan suara minor masyarakat miskin kota”. Dimana orang tuanya? Ah tidak… tidak, dimana Rajanya? Rakyat siapakah bocah itu? Mengapa terlantar di tengah siang yang terlalu bolong seperti kala itu?”.
Rupanya kali ini nalar sedikit kalah, pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan mengambang dengan jawaban yang mungkin akan banyak ditemui di sepanjang jalan Ibu Kota. Sayangnya saya dan nalar hanya sampai pada pernyataan yang berlabuh dalam bentuk kata “semoga”. Semoga saja para penghuni patas dan juga bocah dekil itu tidak berfatamorgana, berfatamorgana dan berkata “ini baik-baik saja, pasti Raja merasakan keroncongan perut yang sama! pasti Raja juga mendengarkan alunan sumbang yang sama!”, tapi nyatanya, bahkan Raja tak pernah tau jika mereka adalah rakyatnya. Raja tetap subur dengan rumput-rumput istananya dan rakyat-rakyat itu tetap kering dalam utopianya.

Riuh rintih diatas senyuman kecil bus kota
menelisik telinga, seakan jeritannya sampai ke hati
suara minor yang terbungkus cambukan zaman
dipaksa dan terpaksa tercipta tuk pemanis tuntutan metropolis
petikan senar cempreng dari gitar sumbang bertuan murung , iringi perjalanan ini
Jemari dekil nan tegarnya jawab erotisme eksistensi kekuasaan,
tersenyum dalam pandangan sinis kemarginalan,
inikah transisi yang kau janjikan!?
Yang ditransisi terabaikan, yang mentransisi terjerumus rakus bagai kakus.
(Gitar Sumbang, 2008)

Bermalam di Kereta Rakyat Jatinegara-Lempuyangan

Ini pengalaman pertamanya naik kereta ekonomi. Kereta rakyat dengan jutaan cerita yang kata orang ini dan itu. Setelah menunggu hampir 3,5 jam. Tepat pukul 22.20 peluit raksasa nyaring berdenging digendang telinga gadis keturunan Jawa Kalimantan itu. Telat 10 menit, ‘biasa’ ucap stasiun tua Jatinegara. Gadis keturunan Jawa Kalimantan itu terus mengkrenyutkan dahi, kala gesekan roda ngilu beradu dengan rel baja di tengah kerikil anak batu kali itu. ‘Jogja aku datang’ begitu katanya dalam hati, tanpa dia tahu sebelumnya apa itu kereta ekonomi Indonesia.
Ratusan orang berbaris rapih dengan tatapan nanar seakan ingin menerkam si kereta ketika berhenti. Sang gadispun merasa ada yang perlu dipersiapkan. Dia bersikap seribu kali lebih siap dari tentara yang mau terjun ke medan perang. Gerbong-gerbong itu terbuka, membuka pula ratusan kerut ibu kota. Gadis pemula itu menerobos ke dalam rangkaian gerbong dengan sopannya. Kata ‘permisi’ dan senyum tak henti dia lemparkan dalam gerah yang mengulita saat itu, tapi tak satupun ada yang menyambut. Wajah-wajah si empunya tiket seharga 35ribu membangunkan gadis Jawa Kalimantan itu dari tidur berkepanjangannya sebagai pemenuh sesak Jakarta. “ada yang salah dengan kereta ini” telisiknya dalam hati. Sambil memperhatikan sekat demi sekat penghuni kereta, gadis Jawa Kalimantan itupun menemukan jawab, dalam pikir yang tidak karuan egonya bergumam keheranan “ya…..aku sekarang ada diantara ketidakberesan pemerintah, aku rakyat yang bahkan nyawaku saja sangat tidak berharga dimata dunia transportasi negeri Garuda Pancasila ini, aku harus tetap berebut tempat duduk bahkan ketika aku punya tiket dan itu bangku yang memang tercantum dalam tiketku”. Diapun berbagi bangku yang harusnya untuk 2 orang, kini bangku itu dihuni oleh 3 orang, belum lagi mereka yang ada dijalan setapak didalam gerbong. Jalan yang seharusnya jadi arus bolak-balik para penjamah kereta rakyat itu.
Kereta rakyat itu terus melaju, berjejal sumpal dengan bangku yang saling berhadapan, 3-2 atau 2-2. Jangan harap kaki-kaki para penumpangnya dapat berselonjor tenang, pastikan kaki itu tertekuk selama hampir 12 jam. Ya…resiko memang namun tak terlihat sedikitpun gerut menyengsarakan pada wajah-wajah pemiliki tiket seharga 35ribu itu. Mereka terpaksa semangat, demi menjumpai sanak saudara yang menunggu didekat pematang sawah. Sang gadis tak sanggup terlelap, dia heran berbalut cemas ketika melihat beberapa ibu yang tertidur lelap dengan bayi dipangkuan gerah mereka. Bayi-bayi itu terpejam diantara kepulan racun nikotin yang bahkan si gadis saja hampir menangis menahan sesaknya. Sesak karena para patriarki itu sangat egois dengan bakaran tembakaunya. Si gadis geram ingin teriak, namun dia tersadar, inilah 35ribu mu, kau harus berbagi dalam segalanya bahkan asap rokok sekalipun. “aku benci perokok, 20 tahun hidupku baru kali ini aku dapat sedekat ini dengan kekejaman Jakarta, walaupun Jakarta sudah lewat jauh tadi, namun kejamnya tetap melekat sampai tiba di Lempuyangan nanti” begitu ungkapnya dalam hati. Malam semakin menunjukkan gulitanya, tidak ada pemandangan, hanya kegelapan dan sesekali suasana gerbong-gerbong bisu yang bisa dinikmati. Gadis itu duduk dibarisan belakang dekat toilet, larisnya para pedagang membuat toilet semakin sering dijamahi, ada yang bolak-balik membuang air dan begitu kontras dengan mereka yang tertidur tepat didepan pintu toilet tersebut. Tidur tepat didepan pintu toilet bukanlah hal yang mudah, kita harus siap bertarung dengan aroma khas yang menyengat dari limbah-limbah manusia itu. Entah bagaimana aroma dan orang-orang yang tertidur itu bisa begitu harmonis.
Hiruk pikuk para pedagang dengan berbagai tawaran dalam pikulannya berlalu lalang tanpa putus asa. Minuman, nasi, senter, kipas, bahkan para penyewa bantalpun ada. Kereta rakyat benar-benar merakyat. Inilah proyeksi rakyat dalam negeriku yang tak lagi lugu. Golongan yang hanya dapat mengakses segala hal yang termurah, itulah rakyat, golongan yang paling tidak digubris bahkan keselamatannya sekalipun, itulah rakyat. “Kamilah rakyat itu, mungkin para pemegang kebijakan mulai lupa, jika kamilah komponen sesungguhnya yang harus disejarterakan, dijamin, dan memiliki kekuasaan terbesar, sudahlah lupakan omong kosong itu, nyatanya ya saat ini, kereta ini dan mungkinkah aku bertahan sampai di Jogja nanti, entahlah”.
Gadis berambut panjang itu sibuk membunuh malam dengan daftar lagu yang diputar dalam telepon genggamnya. Tembang demi tembang terlantun ditelingannya, namun tetap tidak dapat melawan kuasa sang waktu. Malam begitu panjang hari itu, dan si kereta rakyat harus banyak berhenti dihampir tiap stasiun yang bersinggungan dengan kereta bisnis dan eksekutif. Dipaksa mengalah untuk memberikan jalan pada mereka yang membeli tiket jauh diatas penghuni kereta ekonomi ini. Berhentinya cukup lama dan cukup banyak, alhasil kereta ini harus menempuh waktu yang lebih lama lama dan lama lagi untuk sampai ke tujuan. Mungkin itulah sebabnya mengapa kereta ekonomi sering terlambat datang.

Pendidikan Indonesia Riwayatmu Kini

Perempuan kurus itu namanya si calon guru. Cita-citanya menjadi guru. Guru seperti Bu Yati, Pak Nesan, atau Pak Karlan. Guru-guru kebanggaannya semasa di Sekolah Dasar. Guru-guru yang senasib dengan Oemar Bakri. Guru-guru yang merangkul seragam lusuh muridnya dengan senyum kasih sayang, bukan dengan gaji ketigabelas atau donasi orangtua murid. Guru yang rajin datang ke sekolah karena takut muridnya tidak lancar membaca, bukan karena takut gajinya dipotong. Guru yang dengan sabar menjelaskan materi yang tak dimengerti muridnya, bukannya dengan remedial. Demi cita-cita naïf itulah, Si calon guru kuliah 4 tahun mengenyam gelar Sarjana Pendidikan. Waktu tak terasa berlalu cepat. Gelar sarjana sudah ditangan. Mengajar kemana saja kini menjadi legal. Tapi mimpinya hampir berubah jadi abu. Melebur dan lenyap bersama cambukan zaman. 6 bulan masa percobaan mengajarnya, membuat dia bengong penuh keheranan.
Ternyata sekarang, sekolah lebih mirip pasar. Pasang harga biar terlihat mahal. Semakin internasional, semakin menjual. Guru-guru dipekerjakan. Dibantahi murid harus diam. Terbuai tunjangan dan komputer jinjing yang dijanjikan. Kerah-kerah safari mulai canggung, tidak lagi ada keringat pak guru yang diserapnya. Dinding teriplek berubah beton. Ruang kelas panas tiba-tiba kedinginan. Poster Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponegoro dimuseumkan, diganti kalimat asing bertuliskan “don’t disturb”. Seragam-seragam lusuh dilipat lalu dipinggirkan, berganti seragam bersih dengan minyak wangi merk luar. Parkiran sekolah terlihat padat, dipenuhi antar jemput roda empat. Supir-supir membaca koran sambil menunggu tuannya pulang sekolah.
“untuk mengajar para borjuis inikah gelar spd saya, sepertinya mereka tidak benar-benar butuh sosok pengajar ?” gumam si calon guru dalam hati. Guru menjilat dan murid membentak, sudah biasa. Si calon guru kecewa, murid-murid miskin hilang entah kemana? yang ada hanyalah remaja elit yang orangtuanya sanggup membayar juta-juta. Murid-murid dekil dilarang sekolah. Sekolah swasta murah atau putus sekolah pilihannya.