replika

replika
it's my mind

Minggu, 09 Januari 2011

Pelarian Sosial dalam Eksistensi Komunitas Anak Punk Studi Kasus : Komunitas Punk Pondok Gede

Komunitas Punk Pondok Gede
Pembangunan pada dasarnya telah menciptakan berbagai dampak sosial, baik yang positif maupun yang negatif. Dalam perjalanannya setiap Negara di dunia ini tidak dapat menyingkir dari yang namanya pembangunan. Komunitas punk merupakan sebuah fenomena sosial yang sangat dekat dengan realita keseharian masyarakat. Komunitas punk didominasi dengan para remaja yang termarginalkan dari ranah pribadi maupun ranah sosial mereka. Tumbuh kembang komunitas anak punk di Pondok Gede belumlah berlangsung lama, pada tahun 2000-2008 area ini masih belum terjamah oleh komunitas anti kemapanan ini. Komunitas anak jalanan ini mulai tersebar di Pondok Gede pada awal tahun 2009-an, dimulai dari kemunculan mereka pada taman di depan Asrama Haji, Jakarta Timur. Jumlahnya yang semakin banyak, membuat komunitas ini memperluas area tongkrongannya sampai kearah Pondok Gede. Menurut beberapa sumber yang sempat saya wawancarai, kemunculan mereka berawal dari pengusiran serta penangkapan yang sering dilakukan oleh Satpol PP dikawasan asal mereka. Dalam komunitas ini, mereka ada yang awalnya berasal dari anak jalanan yang sering nongkrong di Klender, Pulogadung, Cililitaan ataupun, Kelapa Gading. Perseteruan mereka dengan Satpol PP membuat mereka menepikan diri ke tempat yang mereka nilai lebih aman dan potensial. Kawasan Pondok Gede yang mulai mengalami pertumbuhan ekonomi, mereka nilai dapat menjadi markas baru mereka. Selain potensial dalam hal mencari nafkah (mengamen), di area ini juga jarang diadakan operasi terhadap gelandangan ataupun anak jalanan.

Pelarian Sosial
Pada dasarnya, fenomena anak punk ini merupakan sebuah bentuk pelarin sosial atas ekslusi yang terjadi pada kehidupan mereka. Dalam hal ini saya akan membahas kasus mengenai komunitas anak punk di Pondok Gede. Mengenai kegiatan apa saja yang dilakukan oleh komunitas ini ? Eksklusi sosial yang bagaimanakah sehingga melatarbelakangi mereka melakukan pelarian sosial sebagai anak punk ? Serta bagaimana mereka menanggapi pendangan miring masyarakat serta pemerintah yang terkesan memarginalkan komunitas ini ?.
Kasus ini menarik diangkat karena komunitas ini terdiri dari mayoritas remaja yang merupakan generasi penerus bangsa dan mereka sangat rentan dengan dunia pendidikan. Menjadi anak punk merupakan sebuah pilihan hidup yang harus mereka jalani. Mereka yang berada dalam komunitas ini mayoritas memiliki latarbelakang yang sama. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga ekonomi lemah (kelas menengah ke bawah), ada pula yang berasal dari anak jalanan yang memang sudah tidak memiliki keluarga, ada yang kabur dari rumah dan tidak meneruskan sekolah lagi (putus sekolah). Keadaan yang represif seperti ini, menekan mereka untuk melakukan pelarian sosial (apa yang mereka istilahkan dengan pemberontakan), mereka ingin melepaskan diri dari segala tekanan tersebut dengan mendirikan komunitas anti kemapanan. Mengapa komunitas punk dikenal dengan komunitas anti kempanan, itu adalah bentuk dendam mereka atas kapitalisme yang semakin berkembang di Indonesia. Kapitalisme secara tidak langsung telah mengeksklusikan mereka dari berbagai ranah kehidupan, mulai dari ranah keluarga, pendidikan, pekerjaan, serta hak sebagai warga negara. Perhatian pemerintah terhadap komunitas punk juga sangat kurang bahkan pemerintah seperti memusuhi mereka, terbukti dengan genjarnya Satpol PP dalam merajia anak-anak punk. Mereka merasa tidak ada pihak ataupun elemen masyarakat yang berusaha mengayomi mereka sehingga mereka melakukan pelarian sosial tersebut.

Ekslusi dari Kekuatan Kapitalisme
Menurut pandapat saya, sangat erat korelasinya antara menjamurnya komunitas anti kemapanan ini dengan perkembangan kapitalisme di dunia ketiga, dalam hal ini Indonesia. Dalam teori underdevelopmentnya Frank mengatakan bahwa “ keterbelakang Negara-negara dunia ketiga adalah berangkat dari akibat-akibat struktural. Artinya seiring dengan makin maju pesatnya perkembangan ekonomi Negara dunia pertama maka pada saat yang sama Negara dunia akan semakin teralienasi ”1. Alienasi yang terjadi pada Negara-negara dunia ketiga bukanlah hanya terjadi pada sistem perekonomian tetapi berdampak dalam berbagai aspek sosial. Kapitalisme yang semakin berkembang semakin pula mengkotak-kotakkan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tidak logik lagi. Munculnya komuitas anti kemapanan seperti komunitas punk pondok gede tidaklah lepas dari semakin heroiknya pertumbuhan kapitalisme di Indonesia. Mengapa demikian? Menurut saya hal itu terjadi adalah sebuah bukti bahwa kapitalisme telah mempersempit ruang gerak kaum miskin kota atau mereka yang memiliki keterbatsan akses sosial sehingga mereka tereksklusi dalam ranah sosialnya. Pada dasarnya teori yang dikatakan oleh Frank diatas berpijak pada teori sistem dunia yang dilontakan oleh Wallerstein. Dalam teorinya dia mengatakan bahwa didunia ini pada dasarnya hanya terdapat satu saja sistem besar yang mengatasi sistem-sistem lain, sistem besar itu adalah pasar internasional2. Berpijak pada teori tersebut kita dapat melihat bahwa kekuatan terbesar yang mengatur kedudukan Negara-negara didunia adalah pasar dan pasar pulalah yang telah mendiskriminasi Indonesia sebagai Negara yang dikatakan pheri-pheri, itu jika dalam konteks makro dan tidak jauh berbeda jika dalam kontes mikro. Hal tersebut meperlihatkan bahwa kapitalisme selalu menepatkan kelas-kelas tertentu,seperti kaum yang tereksploitasi dan mengeksploitasi.
Kapitalisme atau kekuatan pasar sekarang tidak hanya berlaku dalam persaingan antar Negara dan jika kita melihat Indonesia saat ini, kekuatan pasar sangat mempengaruhi kekuasaan seseorang atau kelompok. Kapitalisme di Indonesia telah mengeklsusi masyarkkat kelas bawah kedalam jurang kemiskinan sehingga mereka sangat membenci kapitalisme, seperti yang dikatakan oleh komunitas antikemapanan (anak punk) yang saya teliti ini. Dalam kapitalisem modern seperti saat ini, hanya mereka yang memiliki modal dan kekuasaanlah yang dapat mengakses segala hal. Begitupun dengan SDA kita, hanya dapat dirasakan oleh penguasa dan pengusaha. Bagi kaum anak punk seperti yang saya teliti ini, mereka tidak memiliki akses social karena mereka tidak memiliki kekuasaan ataupun modal sehingga pada akhirnya mereka melawan kapitlisme dengan melakukan dengan apa yang sebut sebagai pelarian sosial. Namun pelarian sosial tersebut semakin mengekslusikan mereka dari ranah kehidupan lainnya, seperti tereklusi dari keluarga, pendidikan, dan masyarakat.

Negara Tidak Seharusnya Sembunyi Tangan
Dari kasus anak punk ini saya melihat bahwa oknum yng paling bertanggung jawab dari fenomena ini adalah pemerintah. Pemerintah sebagai pengayom masyarakat, seharusnya membuat rumah binaan serta rumah singgah yang lebih baik bagi mereka, bukan hanya sekedar kamuflase, pada dasarnya pemerintah lewat jajarannya semisal Sapol PP memeperlakukan mereka seperti musuh tidak mengangap mereka sebagai seorang anak, padahal mereka merupakan generasi penerus kita juga. Hal-hal tersebut membuat mereka memberontak dalam hidup. Mereka tidak merasa dihargai dan dibutukan sehingga mereka melakskan pelarian sosial pada komunitas yg lebih mengenggap mereka berarti. Padahal pemerintah atau Negara memiliki andil baesar atas terjerumusnya mereka pada pilihan hidup sebagai anak punk jalanan. Seperti yang telah dijelaskan diatas, sebagai suatu lembaga tertinggi, sudah selayaknya pemerintah berhenti hanya memikirkan kantong-kantong individual atau kelompok elit saja. Pemerintah tidak boleh tutup mata apalagi sampai cuci tangan atas masalah ini. Terekslusinya mereka dari ranah sosial adalah dampak dari buruknya pemberdayaan pemerintah terhadap masyarakat kelas bawah dan menurut saya hal terpenting adalah membenahi itu dulu. Jangan mereka sudah terekslusi oleh Negara lantas makin diekslusikan lagi dengan memarginalan mereka sebagai kaum miskin kota atau istilah yang sering disebut pemerintah dengan anak jalanan yang selalu diidentikan dengan kriminalitas, ketidaklayakan, dan pencemar kota kasarnya ‘sampah masyarakat’.

Kesimpulan
Pada dasarnya remaja adalah fase yang masih rentan pada pencarian jadi diri, mungkin komunitas ini merupakan salah satu wujud dari eksistensi mereka dalam civil society. Sebentuk eksistensi yang mereka lakukan dengan cara dan konsep mereka sendiri atas ekslusi masyarakat maupun pemerintah yang mengarah pada mereka. Sebagai kaum ynag termargialkan, mereka sangat jauh dari sejahtera namun mereka dapat mendeskripsikan kesejateraan itu dalam konsep mereka yang mereka sebut dengan anti kemapanan. Untuk mereka kemapanan adalah musuh yang telah mengeklusi mereka dari banyak ranah kehidupan termasuk kleuarga dan pendidikan. Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa kekuatan kapitalisme tidak hanya berpengaruh pada lembaga tinggi seperti Negara tetapi juga mempengaruhi sampai elemen terkecil di masyarakat. Perkembang kapitalisme dalam hal ini kekuatan pasar telah menjadi ancaman besar bagi masyarakat di Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Dan pada ajhirnya untuk bertahan dari lingkaran eksploitasi tersebut, masayarakat di Negara dunia ketiga tersebut terpasa melakukan pelarian social dengan moda-moda mereka sendiri.

Lapangan Pondok Gede sebagai Ranah Interaksi Komunitas Punk


Deskripsi setting
Pondok Gede merupakan suatu daerah yang terletak di kota Bekasi, daerah ini berbatasan langsung dengan Jakarta Timur. Letaknya yang berada dipinggiran Jakarta, membuat daerah ini memiliki mobilitas yang tinggi. Pondok Gede telah tumbuh sebagai pusat kegiatan ekonomi bagi masyarakat sekitar, mulai dari pasar, pertokoan, sampai dengan Mall berada diarea ini. Potensi itulah yang membuat kawasan ini selalu ramai setiap harinya.
Layaknya pusat kegiatan masyarakat di kota-kota, kawasan Pondok Gede juga memiliki lahan terbuka hijau. Lahan terbuka hijau itu merupakan sebidang tanah milik penduduk asli yang bernama Djembelem binti Aking. Tanah tersebut sering digunakan sebagai lapangan serbaguna yang diperuntukan bagi kegiatan-kegiatan masyarakat sekitar. Area ini sering digunakan sebagai lapangan untuk bermain ataupun turnamen sepak bola, kadang juga digunakan apabila ada pasar malam ataupun pertunjukan lainnya. Tanah kosong yang sering digunakan sebagai lapangan sepak bola ini terletak tepat dibelakang area pasar Pondok Gede.
Lapangan ini memiliki luas kurang lebih 100 x 110 m yang disekelilingnya ditumbuhi pepohonan rindang sehingga menambah nuansa asri pada lahan kosong ini. Selayaknya lapangan sepak bola, lapangan yang memiliki dua buah gawang bambu di kanan dan kirinya ini ditumbuhi rerumputan hijau. Rumput itu tumbuh dengan liar sehingga hijaunya tidak menyapu seluruh badan lapangan. Letaknya yang berada diarea pasar Pondok Gede tepatnya dipertigaan jalan, membuat lapangan ini memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat.
Secara lokasi, lapangan ini tepat berada di pusat pertigaan jalan antara Pondok Gede, Bekasi, dan Jatiwaringin. Letak lapangan ini dikelilingi oleh kantor pusat kegiatan sosial masyarakat, mulai dari SMP (Sekolah Menengah Pertama), Puskesmas, Kantor Kelurahan, sampai dengan Kantor Camat Pondok Gede. Jika kita berdiri ditengah-tengah lapangan dan melihat kearah depan, maka pandangan kita akan berhadapan langsung dengan pasar dan Puskesmas Pondok Gede. Jika kita memalingkan pandangan kearah sebaliknya, maka mata kita akan berpapasan langsung dengan tembok milik kantor Camat Pondok Gede. Disisi kanannya lapangan ini berbatasan dengan SMP Negeri 6 Bekasi dan pada sisi kirinya berbatasan dengan kantor Kelurahan Pondok Gede. Lapangan ini selalu ramai karena di depan, kiri, serta kanan ruasnya dikelilingi dengan jalan raya yang biasa dilalui angkutan umum. Sebagai pembatas antara lapangan dengan jalan raya Jatiwaringin, lahan ini dikelilingi dengan pagar besi yang menancap berbaris pada ruas kirinya.
Banyak aktifitas warga yang terjadi disini, mulai dari fungsi konvesinalnya sebagai lapangan sepak bola, sampai dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk berdagang, tempat istirahat para supir angkutan umum, ataupun sebagai tempat berkumpul komunitas anak punk. Keberadaan komunitas anak punk yang sering berkumpul diarea ini memang sangat menarik perhatian saya. Dari pengamatan yang saya lakukan, lahan ini dijadikan oleh komunitas punk sebagai ranah interaksi simbolik antara sesama anak punk yang tersebar dikawasan Pondok Gede. Sebelum saya menceritakan lebih lanjut mengenai hasil pengamatan saya, saya akan sedikit menjabarkan mengenai perkembangan komunitas punk yang ada di Pondok Gede.

Komunitas Punk Pondok Gede
Tumbuh kembang komunitas anak punk di Pondok Gede belumlah berlangsung lama, pada tahun 2000-2008 area ini masih belum terjamah oleh komunitas anti kemapanan ini. Komunitas anak jalanan ini mulai tersebar di Pondok Gede pada awal tahun 2009-an, dimulai dari kemunculan mereka pada taman di depan Asrama Haji, Jakarta Timur. Jumlahnya yang semakin banyak, membuat komunitas ini memperluas area tongkrongannya sampai kearah Pondok Gede. Menurut beberapa sumber yang sempat saya wawancarai, kemunculan mereka berawal dari pengusiran serta penangkapan yang sering dilakukan oleh Satpol PP dikawasan asal mereka. Dalam komunitas ini, mereka ada yang awalnya berasal dari anak jalanan yang sering nongkrong di Klender, Pulogadung, ataupun, Cililitan. Perseteruan mereka dengan Satpol PP membuat mereka menepikan diri ke tempat yang mereka nilai lebih aman dan potensial. Kawasan Pondok Gede yang mulai mengalami pertumbuhan ekonomi, mereka nilai dapat menjadi markas baru mereka. Selain potensial dalam hal mencari nafkah (mengamen), di area ini juga jarang diadakan operasi terhadap gelandangan ataupun anak jalanan. Berikut tadi hanya kilasan saya tentang gambaran bagaimana komunitas ini pada akhirnya meluas di Pondok Gede, selanjutnya saya akan memaparkan hasil pengamatan saya mengenai alokasi fungsi lahan terbuka hijua Pondok Gede sebagai ranah interaksi komunitas anti kemapanan ini.
Lahan terbuka hijau sebagai ranah interaksi komunitas punk Pondok Gede
Lapangan terbuka hijau yang sering digunakan oleh masyarakat sekitar Pondok Gede sebagai tempat bermain sepak bola, kini dimanfaatkan juga oleh komunitas anak punk sebagai area interaksi mereka. Interaksi disini bukan hanya sekedar untuk berkumpul ataupun bersenda gurau tetapi lahan ini sepenuhnya dijadikan markas bagi komunitas anak jalanan ini. Pengamatan yang saya lakukan memperlihatkan bahwa lahan tersebut digunakan komunitas ini mulai dari nongkrong, berkumpul (mengkordinasi anggotanya sebelum mengamen), makan bersama, sampai istirahat (sekedar duduk-duduk ataupun tidur). Keberadaan lahan ini yang memang terbilang nyaman, dekat dengan tukang jualan, serta dekat dengan sasaran ngamen mereka (penumpang angkutan umum yang berlalu-lalang) menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi mereka menjatuhkan pilihan pada tempat ini.
Lokasi markas komunitas punk ada disisi kanan lapangan yang berbatasan langsung dengan SMP Negeri 6. Jika dilihat secara kenyamanan, sisi ini memang terbilang paling adem dengan lebih banyak pohon rindang serta rumput yang tumbuh. Tempat mereka nongkrong ini, berada tepat dibawah sebuah pohon besar. Ruas ini juga lebih sepi ketimbang ruas-ruas lapangan lainnya karena agak jauh dari tempat tinggal warga. Disisi ini hanya ada jalanan beraspal yang hanya sesekali dilewati angkutan umum. Masih disisi lapangan yang sama, sering juga digunakan untuk ngetem angkutan umum 18 (jurusan kp.melayu-pondok gede) dan G5 (jurusan pondok gede-gamprit). Angkot-angkot yang ngetem disekitar lapangan tempat anak punk berkumpul ini juga sering menjadi objekan mereka, selain ngamen mereka juga terkadang bekerja mencuci ataupun hanya sekedar mengelap angkutan umum yang sedang ngetem.

Di pagi hari
Aktifitas yang mereka lakukan dilapangan ini pada pagi hari hanyalah sebatas bangun tidur (ada beberapa juga yang masih terlelap dihamparan rumput hijau), duduk-duduk, ada yang mulai mengotak-atik alat ngamennya. Beberapa diantara mereka ada yang langsung menuju warung kopi, ada pula yang memperbaiki tindikan-tindikan diwajah, telinga, lidah, ataupun bagian lain ditubuhnya.

Di siang hari
Masih dengan gaya serta pakaian yang melekat ditubuhnya seperti hari-hari kemarin, mereka mulai berinteraksi dengan para penumpang diangkutan umum. Sebagian anggota ada yang mengamen dan sebagian lagi ada yang mencuci ataupun mengelap ankutan umum yang sedang ngetem disekitar lapangan. Mereka menyebarkan diri, namun mayoritas anggota komunitas ini mengamen diarea sekitar lapangan. Tidak banyak aktifitas yang mereka lakukan dilapangan ini pada siang hari, hanya beberapa anggota saja yang masih menggunakan sudut-sudut lapangan ini sebagai arena tidur siang ataupun melamun sambil menikmati batangn rokok.

Di sore hari
Pada sore hari hanya ada beberapa anak punk saja yang nongkrong dilahan ini, mungkin karena mereka sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Hanya terlihat beberapa yang sedang bersenda gurau dengan dua remaja perempuan yang memang sengaja singgah ditempat itu. Yang sedikit menarik perhatian saya adalah seorang anak punk yang sedang membaca sebuah Koran yang entah dia dapatkan darimana. Dia begitu serius membaca lembar demi lembar halaman Koran tersebut ditemani semilir angin sore yang menyapu dedaunan pohon tempatnya bersandar. Mereka tetaplah remaja yang penuh dengan rasa ingin tahu tak terkecuali mengenai perkembangan bangsa ini.

Di malam hari
Bisa dibilang, malam hari sebagai pusat aktifitas komunitas ini karena kegiatan mereka lebih banyak dilakukan dimalam hari. Pada malam hari lapangan ini mereka gunakan layaknya sebuah rumah singgah, ada yang bermain gitar sambil bernyanyi sekeras-kerasnya, ada yang sekedar duduk sambil ngobrol-ngobrol, ada yang bermain kartu remi, ada yang sedang menggimbal ataupun mewarnai rambut temannya, ada yang membuat tindikan dengan peralatan seadanya, ada yang mentatoo tubuh temannya, ada yang terlelap, ada pula yang sedang berpacaran, bahkan ada yang iseng bermain bola.
Kehidupan mereka sepertinya dimulai pada malam hari karena interaksi antar sesama anggota komunitas ini baru benar-benar terlihat pada malam hari. Mereka duduk bersamaan membentuk lingkaran dengan nasi hasil ngamen yang siap mereka santap secara berkoloni. Dalam hal solidaritas, komunitas ini memiliki solidaritas yang sangat tinggi antara sesama anggotanya. Komunitas ini terlihat seperti keluarga besar yang sedang berkumpul di dalam sebuah rumah. Dimalam hari inilah, amat sangat jelas terlihat bahwa mereka menjadikan lahan terbuka hijau di Pondok Gede ini sebagai rumah mereka. Tempat melakukan berbagai aktifitas serta sebagai area mereka melepas lelah. Mereka seperti memiliki dunianya sendiri dan sepertinya mereka nyaman dengan hal itu dan lapangan ini dinilai memiliki fasilitas yang tepat untuk mewadahi akifitas mereka itu.
Demikian pengamatan yang saya lakukan pada sebidang tanah yang kini digunakan oleh komunitas anak punk sebagai ranah interaksi mereka. Lahan yang bagi sebagian orang hanyalah sebidang tanah kosong biasa tetapi bagi komunitas anak jalanan ini, lahan terbuka itu merupakan tempat dimana mereka dapat pulang dan bertemu keluarga mereka (sesama anak punk lainnya).

KENAKALAN REMAJA Studi Kasus: modus berpacaran remaja di jalan setapak dekat Kuburan Bulak Embah, Kel.Setu, Kec. Cipayung, Jakarta Timur

Kuburan atau TPU Bulak Embah semula merupakan sebuah lahan kosong yang telah diwakafkan sehingga menjadi Tempat Pemakaman Umum. Warga sekitar yang meninggal biasa di kuburkan di TPU ini. Secara lokasi, TPU ini berada dipinggir jalan tol Cipayung, diantara TPU dengan jalan TOL hanya dibatasi oleh jalan setapak yang tidak banyak dilalui orang. Jalan tersebut merupakan jalan tikus yang biasanya hanya digunakan untuk jalan alternative atau memotong jalan agar bisa cepat sampai tujuan. Jalan setapak tersebut tidak banyak diketahui orang, jalannya yang tidak luas dan gelap terlebih dekat kuburan membuat banyak orang engga melewati jalan tersebut. Namun, gelap dan sepinya jalan setapak tersebut dimanfaatkan oleh pasangan muda-mudi yang sedang kasmaran sebagai tempat mereka berpacaran. Pasangan muda-mudi ini bervariasi mulai dari yang memang masih terbilang remaja sampai yang sudah dewasa. Biasanya mereka nongkrong di lokasi ini ketika weekend seperti hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Pada hari-hari tersebut disepanjang jalan setapak ini berjejer belasan sampai puluhan pasangan remaja, mereka memadu kasih atau sekedar duduk sambil ngobrol-ngobrol. Fenomena ini terjadi baru sekitar tahun 2000an, sejak dibangunnya jalan tol lingkar luar Jakarta yang melewati Cipayung. Remaja yang nongkrong di lokasi tersebut lebih dinilai negatif oleh warga sekitar dan aktivitas para remaja tersebut dinilai mengganngu ketentraman lingkungan sekitar karena remaja yang berpacaran di sana tidak hanya berasal dari wilayah Setu. Walau demikian, tidak ada kontrol sosial yang digerakkan dalam mencegah kenakalan remaja dalam fenomena ini. Wacana diatas adalah sedikit gambaran mengenai studi kasus yang akan saya bahas, selanjutnya saya akan menjelaskan mengapa para pemuda-pemudi tersebut memilih jalan setapak dipinggir TPU tersebut sebagai arena berpacaran mereka? Aktivitas semacam apa yang mereka lakukan disana? bagaimana kontrol ataupun tindakan nyata yang dilakukan oleh masyarakat sekitar terhadap fenomena tersebut? Apakah hal tersebut menjadi sebuah masalah sosial bagi warga setempat? Serta adakah pembinaan dari aparat sekitar untuk lebih memfungsionalisasikan jalan setapak tersebut agar tidak digunakan sebagai tempat yang dinilai menjadi sumber bagi kenakalan remaja?

Kenakalan Remaja dan Rendahnya Kontrol Sosial
Kartono seorang ilmuwan sosiologi mendefinisikan kenakalan remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency sebagai gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang". Jika dilihat dari kasus tersebut, kenakalan remaja ini timbul karena kurangnya kontrol sosial yang diberikan oleh masyarakat setempat. Secara patologi, ada elemen-elemen masyarakat tertentu yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik sehingga berdampak pada fenomena tersebut. Jalan setapak yang berada dipinggiran kuburan Embah Bulak tersebut digunakan oleh para remaja sebagai tempat mereka memadu kasih. Dari pengamatan yang penulis lakukan, aktifitas yang mereka lakukan cenderung mengarah kepada pergaulan bebas. Rata-rata mereka yang nongkrong di jalan tersebut adalah pasangan muda-mudi yang menggunakan kendaraan bermotor, mereka menepati areanya masing-masing lalu saling memadu kasih dengan posisi tubuh membelakangi jalan (membelakangi kuburan dan menghadap ke jalan Tol). Ada beberapa aktifitas yang cenderung melanggar norma dan nilai ketimuran masyarakat Indonesia, beberapa diantaranya ada yang tanpa malu-malu berciuman, berpelukan, dan memegang-megang bagian tubuh vital pasangannya. Aktifitas seperti ini sepertinya sudah sangat biasa saja bagi mereka, mereka terkesan cuek terhadap orang yang berlalu lalang dibelakangnya (melewati jalan setapak tersebut). Tindakan-tindakan yang mereka lakukan tersebut merupakan sesuatu yang berada diluar kontrol sosial terutama bagi remaja seperti mereka.
Tidak adanya aturan yang dapat membatasi mereka, memicu mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih jauh lagi. Terlebih jalan tersebut sangat sepi dan tidak terdapat penerangan lampu, dan mereka melakukan kenakalan tersebut secara massal jadi mereka menggangap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar saja. Padahal secara sosiologis, hal seperti itu merupakan sebuah bentuk dari penyimpangan sosial yang terjadi dalam pola pergaulan remaja saat ini. Para remaja yang nongkrong ditempat tersebut telah mengabaikan fungsi dari norma serta nilai yang telah diterapkan kepada mereka,

Pro dan Kontra Masyarakat tidak diiringin Tindakan Nyata
Terjadi pro kontra di masyarakat namun hal tersebut tetap tidak mempengaruhi aktifitas yang terjadi di jalan setapak tersebut tiap weekednya. Karena pihak yang peduli lebih sedikit ketimbang pihak yang tidak peduli. Bagi mereka yang peduli, mereka menganggap bahwa aktifitas tersebut telah mengganggu ketentraman warga setempat dikarenakan remaja yang nongkrong di lokasi tersebut berasal dari berbagai wilayah (bukan hanya dari wilayah Cipayung saja). Kelompok ini juga mengkhawatirkan dampak aktifitas tersebut terhadap moral remaja di kampung mereka, namun itu hanya sekedar kekhawatiran tanpa diiringi dengan tindakan nyata. Bagi kelompok masyarakat yang pro, mereka tidak merasa terganggu dengan aktifitas remaja tersebut, malah mereka mendukung dengan membuka sebuah saung dangdutan di ujung jalan setapak tersebut. Pro dan kontra tersebut tidak sampai menimbulkan konflik di masyakat, padahal fenomen tersebut menjadi wujud dari penyakit masyarakat yang dapat meluas kapan saja.

Patologi Sosial dalam Modus Berpacaran Remaja di pinggiran Kuburan Bulak Embah
Perspektif patologi sosial mengatakan bahwa masalah sosial terjadi apabila individu atau institusi sosial tidak berhasil dalam mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi sehingga akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial. Dalam kasus di atas , individu ataupun institusi sosial yang ada seperti keluarga ataupun Rukun Tetangga tidak dapat melakukan kontrol sosial, yang menyebabkab para remaja dapat bebas berpacaran di jalan setapak nan remang tersebut. Pada dasarnya perubahan zaman telah memberikan efek besar terhadap pola pergaulan remaja masa kini, para remaja sekarang lebih terpengaruh dengan pola berpacaran dalam budaya barat. Hal tersebut tidak lepas dari yang namanya globalisasi, dimana para remaja dapat dengan mudah mengakses pola kehidupan masyarakat Barat melalui banyak media komunikasi khususnya internet. Lingkungan serta adopsi para remaja terhadap budaya asing telah mempengaruhi modus berpacaran mereka, cara berpacaran mereka terbilang vulgar dan sangat bertolak belakang dengan norma serta nilai ketimuran bangsa Indonesia. Dalam perspektif patologi sosial kondisi seperti ini dikatakan sebagai penyakit sosial, dimana individu (remaja) serta institusi sosial (keluarga, aparat setempat) tidak dapat melakukan fungsinya dalam hal mengatur lingkungan sekitar agar terhindar dari fenomena yang membawa dampak negatif seperti ini. Remaja yang menjadi aktor utama dalam kenakalan tersebut telah terbawa dalam pergaulan yang terbilang bebas dan alhasil akan mempengaruhi remaja sekitar untuk melakukan hal yang sama, itulah sebabnya mengapa jalan setapak dekat Kuburan Bulak Embah malah semakin ramai tiap minggunya. Itu dikarenakan ada efek penularandari remaja satu ke remaja lainnya, dan dapat kita lihat bahwa bukan hanya remaja yang tinggal di sekitar Setu yang berpacaran di pinggiran kuburan tersebut tetapi remaja-remaja dari daerah lain yang memang telah mengetahui tempat tersebut atau mereka yang sekedar lewat kemudian berhenti untuk melakukan modus yang sama. Dalam Social Maladjusment vs Social Adjusment baik pada level individu, kelompok dan masyarakat, sebab masyarakat yang “sakit” menghasilkan individu yang juga “sakit”.

Dampak
Fenomena tersebut tentunya lebih banyak membawa dampak negatif ketimbang positif. Pertama, remaja disekitar wilayah tersebut lebih suka menghabiskan malam mingguan mereka di pinggiran kuburan tersebut dengan aktifitas (pergaulan bebas) yang tidak terawasi oleh orang tua mereka. Remaja yang ikut nongkrong sangat rentan “tertular” budaya pergaulan negatif yang dilakukan oleh remaja lain yang ada di sana, akan terjadi proses imitasi sosial dalam hal cara bergaul. Jelaslah bukan hanya dengan mengadopsi perilaku teman sebayanya tetapi para remaja tesebut telah melanggar nilai dan norma serta batasan kesopanan yang berlaku dilingkungan mereka. Budaya berpacaran bebas seperti ini, apabila terus dibiarkan maka akan menjadi momok yang menyeramkan dan dapat merusak moral generasi muda Indonesia di masa depan.

Solusi
Permasalahan kenakalan remaja yang terjadi diatas secara patologi memiliki beberapa solusi yang terhubung dengan aktor dalam kasus tersebut. Menurut saya, haruslah ada perubahan aspek moral individu ataupun media sosialisasi lainnya melalui pendidikan ataupun pembinaan. Pembinaan ataupun pendekatan moral tersebut yang pertama haruuslah dilakukan oleh keluarga baru kemudian dari lingkungna setempat, hal ini dilakukan sebagai upaya kontrol sosial. Keluarga sebagai element sosialisasi terdekat sudah seharusnya menanamkan kembali nilai serta norma bangsa Indonnesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran serta menumbuhkan kembali norama agama yang mulai terlupakan. Dalam hal pengawasan, bukanlah hanya menjadi tanggung jawab keluarga tetapi juga menjadi tanggug jawab seluruh element masyarakat yang ada, baik tetangga ataupun aparat setempat. Para tetangga harus dapat memberikan teguran ataupun sanksi moral terhadap para remaja yang berpacaran di pinggiran kuburan Embah Bulak. Dan dari pihak pemerintah setempat baik Rukun Tetangga ataupun Lurah serta aparat sosial lainnya harusnya dapat melakukan pembinaan ataupun relokasi terhadap jalan setapak tersebut demi mencegah banyaknya remaja yang berpacaran disitu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mendirikan pos jaga (keamanan) disekitar jalan tersebut, memberikan penerangan yang cukup agar jalan setapak tersebut jauh dari kesan remang, serta diadakannya operasi dadakan setiap minggunya terhadap para remaja yang berpacaran di jalan setapak itu untuk kemudian diberikan sanksi berupa pembinaan tentang nilai dan norma.