replika

replika
it's my mind

Minggu, 18 Desember 2011

NALAR LIAR

“Alur realita lebih dramatis ketimbang naskah sinetron televise”
Kadang posisi saya sebagai manusia, membuat saya harus berpikir. Sampai mati pun saya atau manusia lainnya harus tetap berpikir. Kadang saya bertanya, deritakah atau sebuah keistimewaan? Baiklah sekarang saya sebut saja itu sebagai keistimewaan. Mengapa istimewa? Karena dengan berpikir, saya bisa memerintahkan mata untuk melihat deretan penjual pakaian bekas di Pasar Senen yang diserbu masyarakat kelas buncit perkotaan atau menjadi penikmat romansa muda-mudi yang melepaskan hasrat ABGnya di flyover Pasar Rebo. Itulah kehebatan sang nalar, nalar juga tak sungkan untuk memerintahkan saraf-saraf dihidung ini untuk meresapi aroma wc umum di sepanjang terminal Kampung Rambutan atau bahkan memaksa telinga ini untuk mendengar kalimat “neng…minta neng…anak saya belum makan tiga hari”. Sang nalar memang liar, saking liarnya, dia dapat mengkrenyutkan dahi ini ketika saya rasa bahwa tak mungkin ada jalan yang diwarnai kaum waria dan pekerja seks komersial seperti sepanjang jalan Bekasi Timur Raya (Cipinang Besar). Jelaslah sudah, pasti nalar juga lah yang menjadi dalang dibalik tanda tanya besar dipojok siang itu.
Siang itu lagi-lagi nalar mendorong saya untuk bermain dengan batas logika dan realitas yang ada. Saya pun dipancing untuk bertanya ketika kaki ini melintasi deretan halte tua disepanjang jalan Pemuda, langkah itu diiringi dengan pertanyaan “Mengapa disiang bolong seperti ini harus ada puluhan mahasiswa yang rela duduk berjam-jam hanya demi menunggu datangnya patas jurusan Pulo gadung-Kampung Rambutan”. Bukankah patas itu sangat keras, bahkan para penumpangnya harus berkejaran dengan aspal apabila ingin menaikinya, juga harus berhadapan dengan desakan keringat Jakarta apabila ingin merasakan kursi Rp.2000,- yang menjadi primadona kalangan mahasiswa, buruh, dan para pekerja disepanjang jalan yang dijamahi patas tersebut. “Se-kere itukah masyarakat ibu kota? saya rasa pasti tidak, pasti ada alasan lain yang mendorong mereka mau menitipkan nyawanya pada uang Rp.2000,- tapi apa alasannya?”. Entahlah, mungkin karena uang Rp.2000,- tidak mampu menyodok telinga WAKIL RAKYAT untuk menyediakan fasilitas umum yang layak untuk dinikmati RAKYATnya. Tidak berhenti sampai disitu, nalar tetap menodong saya dengan bunga pikiran lainnya, “Kalau begitu sejahterakah mereka?”. Saya mulai menyerah atas pertanyaan tersebut, “sejahtera? bukankah itu kata paling klise yang mewarnai buku sejarah?!” jawab saya sambil menyeringai. Lalu nalarpun menjawabnya “Jika demontrasi dan sindiran nyinyir masih bolak-balik di Bundaran Hotel Indonesia, itu pertanda bahwa mahasiswa, buruh, dan para penghuni patas itu sudah lama tidak berjabat tangan dengan kata sejahtera”. Sebuah jawaban yang kembali mengoyak posisi kita sebagai homo sapiens (manusia berpikir).
Sudahlah, sejenak lupakan deretan wajah-wajah di halte tadi dan biarkan saya nikmati kembali siang yang semakin merekah kala itu. Semoga untuk kali ini sang nalar tidak mengganggu kenikmatan terik siang dengan pertanyaan-pertanyaan absurd-nya. Wah patasnya datang! Bagaimana jika saya ikut menjejakan kaki di dalamnya, menjadi bagian dari penghuninya yang dikatakan oleh si nalar sebagai manusia yang dialienasi dari kata sejahtera. Benar saja, halte mulai kosong, orang-orang mulai berlarian ketika melihat patas miring itu dari kejauhan. “Serbu……” mungkin itulah kata yang mengelayuti benak mereka. Benar-benar seperti para gladiator yang akan menghabisi lawan-lawannya. Kali ini si nalar sedikit cuek, namun ada yang mengusik sisi humanis saya sebagai manusia. Bukan tentang jubalan manusia dengan paduan aroma keringatnya yang juga bergelayut satu kaki dipintu patas, bukan juga tentang karat di dinding patas yang jika tersengat matahari persis seperti oven raksasa dengan manusia sebagai menu siangnya, dan bukan pula tentang para hidung belang yang menikmati gesekan demi gesekan di kerumunan itu. Ada yang lebih merenyuhkan kondisi melankolis ini, ya…….pertanyaan tentang bocah itu. Bocah apatis yang seakan tidak lagi peduli tentang ada dimana dia saat itu. Saya kesal, dan kembali mempertanyakan, “Mengapa saya harus mendengar alunan sumbang dari gitar yang tuannya bahkan masih ingusan”. Pertanyaan itu pun terus bercabang seperti selter TransJakarta yang melilit sempit jalanan ibu kota. Sebagai mahasiswi pendidikan, saya terusik dengan pertanyaan “Dimana seragam putih merahnya? Masihkah dia ingat dengan buku PR matematikanya? Mengapa dia masih bisa memangku tawanya di atas jemari kaki tanpa sendal yang polos mencium panasnya mesin bus kota”.
Saya pun dibuatnya semakin tidak habis pikir, mungkin itulah mengapa kita harus selalu berpikir. Lagi-lagi pertanyaan muncul tentang bocah ingusan pemiliki gitar sumbang itu, untuk kemudian mengganggu normalitas otak saya sebagai manusia yang semestinya berpikir. “Mengapa suara sumbang itu sangat suka bersahabat dengan debu-debu di halte, kerasnya cibiran bahkan bentakan dan keroncongan perut yang terus bersahutan dengan gemuruh keluh. Mengapa bocah itu memilih menu siang yang begitu kelaparan?. Mengapa menggumamkan teriknya Jakarta dan tiap keringat yang jatuh lewat petikan suara minor masyarakat miskin kota”. Dimana orang tuanya? Ah tidak… tidak, dimana Rajanya? Rakyat siapakah bocah itu? Mengapa terlantar di tengah siang yang terlalu bolong seperti kala itu?”.
Rupanya kali ini nalar sedikit kalah, pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan mengambang dengan jawaban yang mungkin akan banyak ditemui di sepanjang jalan Ibu Kota. Sayangnya saya dan nalar hanya sampai pada pernyataan yang berlabuh dalam bentuk kata “semoga”. Semoga saja para penghuni patas dan juga bocah dekil itu tidak berfatamorgana, berfatamorgana dan berkata “ini baik-baik saja, pasti Raja merasakan keroncongan perut yang sama! pasti Raja juga mendengarkan alunan sumbang yang sama!”, tapi nyatanya, bahkan Raja tak pernah tau jika mereka adalah rakyatnya. Raja tetap subur dengan rumput-rumput istananya dan rakyat-rakyat itu tetap kering dalam utopianya.

Riuh rintih diatas senyuman kecil bus kota
menelisik telinga, seakan jeritannya sampai ke hati
suara minor yang terbungkus cambukan zaman
dipaksa dan terpaksa tercipta tuk pemanis tuntutan metropolis
petikan senar cempreng dari gitar sumbang bertuan murung , iringi perjalanan ini
Jemari dekil nan tegarnya jawab erotisme eksistensi kekuasaan,
tersenyum dalam pandangan sinis kemarginalan,
inikah transisi yang kau janjikan!?
Yang ditransisi terabaikan, yang mentransisi terjerumus rakus bagai kakus.
(Gitar Sumbang, 2008)

Bermalam di Kereta Rakyat Jatinegara-Lempuyangan

Ini pengalaman pertamanya naik kereta ekonomi. Kereta rakyat dengan jutaan cerita yang kata orang ini dan itu. Setelah menunggu hampir 3,5 jam. Tepat pukul 22.20 peluit raksasa nyaring berdenging digendang telinga gadis keturunan Jawa Kalimantan itu. Telat 10 menit, ‘biasa’ ucap stasiun tua Jatinegara. Gadis keturunan Jawa Kalimantan itu terus mengkrenyutkan dahi, kala gesekan roda ngilu beradu dengan rel baja di tengah kerikil anak batu kali itu. ‘Jogja aku datang’ begitu katanya dalam hati, tanpa dia tahu sebelumnya apa itu kereta ekonomi Indonesia.
Ratusan orang berbaris rapih dengan tatapan nanar seakan ingin menerkam si kereta ketika berhenti. Sang gadispun merasa ada yang perlu dipersiapkan. Dia bersikap seribu kali lebih siap dari tentara yang mau terjun ke medan perang. Gerbong-gerbong itu terbuka, membuka pula ratusan kerut ibu kota. Gadis pemula itu menerobos ke dalam rangkaian gerbong dengan sopannya. Kata ‘permisi’ dan senyum tak henti dia lemparkan dalam gerah yang mengulita saat itu, tapi tak satupun ada yang menyambut. Wajah-wajah si empunya tiket seharga 35ribu membangunkan gadis Jawa Kalimantan itu dari tidur berkepanjangannya sebagai pemenuh sesak Jakarta. “ada yang salah dengan kereta ini” telisiknya dalam hati. Sambil memperhatikan sekat demi sekat penghuni kereta, gadis Jawa Kalimantan itupun menemukan jawab, dalam pikir yang tidak karuan egonya bergumam keheranan “ya…..aku sekarang ada diantara ketidakberesan pemerintah, aku rakyat yang bahkan nyawaku saja sangat tidak berharga dimata dunia transportasi negeri Garuda Pancasila ini, aku harus tetap berebut tempat duduk bahkan ketika aku punya tiket dan itu bangku yang memang tercantum dalam tiketku”. Diapun berbagi bangku yang harusnya untuk 2 orang, kini bangku itu dihuni oleh 3 orang, belum lagi mereka yang ada dijalan setapak didalam gerbong. Jalan yang seharusnya jadi arus bolak-balik para penjamah kereta rakyat itu.
Kereta rakyat itu terus melaju, berjejal sumpal dengan bangku yang saling berhadapan, 3-2 atau 2-2. Jangan harap kaki-kaki para penumpangnya dapat berselonjor tenang, pastikan kaki itu tertekuk selama hampir 12 jam. Ya…resiko memang namun tak terlihat sedikitpun gerut menyengsarakan pada wajah-wajah pemiliki tiket seharga 35ribu itu. Mereka terpaksa semangat, demi menjumpai sanak saudara yang menunggu didekat pematang sawah. Sang gadis tak sanggup terlelap, dia heran berbalut cemas ketika melihat beberapa ibu yang tertidur lelap dengan bayi dipangkuan gerah mereka. Bayi-bayi itu terpejam diantara kepulan racun nikotin yang bahkan si gadis saja hampir menangis menahan sesaknya. Sesak karena para patriarki itu sangat egois dengan bakaran tembakaunya. Si gadis geram ingin teriak, namun dia tersadar, inilah 35ribu mu, kau harus berbagi dalam segalanya bahkan asap rokok sekalipun. “aku benci perokok, 20 tahun hidupku baru kali ini aku dapat sedekat ini dengan kekejaman Jakarta, walaupun Jakarta sudah lewat jauh tadi, namun kejamnya tetap melekat sampai tiba di Lempuyangan nanti” begitu ungkapnya dalam hati. Malam semakin menunjukkan gulitanya, tidak ada pemandangan, hanya kegelapan dan sesekali suasana gerbong-gerbong bisu yang bisa dinikmati. Gadis itu duduk dibarisan belakang dekat toilet, larisnya para pedagang membuat toilet semakin sering dijamahi, ada yang bolak-balik membuang air dan begitu kontras dengan mereka yang tertidur tepat didepan pintu toilet tersebut. Tidur tepat didepan pintu toilet bukanlah hal yang mudah, kita harus siap bertarung dengan aroma khas yang menyengat dari limbah-limbah manusia itu. Entah bagaimana aroma dan orang-orang yang tertidur itu bisa begitu harmonis.
Hiruk pikuk para pedagang dengan berbagai tawaran dalam pikulannya berlalu lalang tanpa putus asa. Minuman, nasi, senter, kipas, bahkan para penyewa bantalpun ada. Kereta rakyat benar-benar merakyat. Inilah proyeksi rakyat dalam negeriku yang tak lagi lugu. Golongan yang hanya dapat mengakses segala hal yang termurah, itulah rakyat, golongan yang paling tidak digubris bahkan keselamatannya sekalipun, itulah rakyat. “Kamilah rakyat itu, mungkin para pemegang kebijakan mulai lupa, jika kamilah komponen sesungguhnya yang harus disejarterakan, dijamin, dan memiliki kekuasaan terbesar, sudahlah lupakan omong kosong itu, nyatanya ya saat ini, kereta ini dan mungkinkah aku bertahan sampai di Jogja nanti, entahlah”.
Gadis berambut panjang itu sibuk membunuh malam dengan daftar lagu yang diputar dalam telepon genggamnya. Tembang demi tembang terlantun ditelingannya, namun tetap tidak dapat melawan kuasa sang waktu. Malam begitu panjang hari itu, dan si kereta rakyat harus banyak berhenti dihampir tiap stasiun yang bersinggungan dengan kereta bisnis dan eksekutif. Dipaksa mengalah untuk memberikan jalan pada mereka yang membeli tiket jauh diatas penghuni kereta ekonomi ini. Berhentinya cukup lama dan cukup banyak, alhasil kereta ini harus menempuh waktu yang lebih lama lama dan lama lagi untuk sampai ke tujuan. Mungkin itulah sebabnya mengapa kereta ekonomi sering terlambat datang.

Pendidikan Indonesia Riwayatmu Kini

Perempuan kurus itu namanya si calon guru. Cita-citanya menjadi guru. Guru seperti Bu Yati, Pak Nesan, atau Pak Karlan. Guru-guru kebanggaannya semasa di Sekolah Dasar. Guru-guru yang senasib dengan Oemar Bakri. Guru-guru yang merangkul seragam lusuh muridnya dengan senyum kasih sayang, bukan dengan gaji ketigabelas atau donasi orangtua murid. Guru yang rajin datang ke sekolah karena takut muridnya tidak lancar membaca, bukan karena takut gajinya dipotong. Guru yang dengan sabar menjelaskan materi yang tak dimengerti muridnya, bukannya dengan remedial. Demi cita-cita naïf itulah, Si calon guru kuliah 4 tahun mengenyam gelar Sarjana Pendidikan. Waktu tak terasa berlalu cepat. Gelar sarjana sudah ditangan. Mengajar kemana saja kini menjadi legal. Tapi mimpinya hampir berubah jadi abu. Melebur dan lenyap bersama cambukan zaman. 6 bulan masa percobaan mengajarnya, membuat dia bengong penuh keheranan.
Ternyata sekarang, sekolah lebih mirip pasar. Pasang harga biar terlihat mahal. Semakin internasional, semakin menjual. Guru-guru dipekerjakan. Dibantahi murid harus diam. Terbuai tunjangan dan komputer jinjing yang dijanjikan. Kerah-kerah safari mulai canggung, tidak lagi ada keringat pak guru yang diserapnya. Dinding teriplek berubah beton. Ruang kelas panas tiba-tiba kedinginan. Poster Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponegoro dimuseumkan, diganti kalimat asing bertuliskan “don’t disturb”. Seragam-seragam lusuh dilipat lalu dipinggirkan, berganti seragam bersih dengan minyak wangi merk luar. Parkiran sekolah terlihat padat, dipenuhi antar jemput roda empat. Supir-supir membaca koran sambil menunggu tuannya pulang sekolah.
“untuk mengajar para borjuis inikah gelar spd saya, sepertinya mereka tidak benar-benar butuh sosok pengajar ?” gumam si calon guru dalam hati. Guru menjilat dan murid membentak, sudah biasa. Si calon guru kecewa, murid-murid miskin hilang entah kemana? yang ada hanyalah remaja elit yang orangtuanya sanggup membayar juta-juta. Murid-murid dekil dilarang sekolah. Sekolah swasta murah atau putus sekolah pilihannya.

Kamis, 17 Maret 2011

percakapan di rak buku

rak buku itu kebakaran, apinya merah marah
berkobar-kobar tak terjinakan..
hampir semua kertas digosongi
tulisan-tulisan jadi abu, kata-kata luber jadi asap
namun ada satu kertas yg tak terbakar
kertas itupun penasaran, lalu dia bertanya

kertas : kenapa qm tidak menghanguskan ku ?

dan sang api balik bertanya "apakah kau sangat ingin aq hanguskan?"

kertas : tidak juga, aq hanya penasaran

penasaran karena kau hanya menyisakan satu halaman yaitu aq

aq hanya kata pengantar yg jarang dipedulikan orang

dg tenangnya sang api menjawab " aq hanya tak ingin rayap-rayap kelaparan "

kertas : jika memang kau teramat peduli dg rayap-rayap, knp tak kau biarkan utuh halaman-halaman itu

dalam hati si api menjawab " karena aq hanya ingin membacamu "

sang api pun lenyap bersama siraman air pemadam kebakaran
dan sang kertaspun pasrah dalam penasarannya

Selasa, 22 Februari 2011

Dinamika Kesadarn Demokrasi


Pada prinsipnya, dasar dari sistem pemerintahan Indonesia adalah demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dengan demikian tidak bisa ditawar lagi bahwa seharusnya kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Serta segala kebijakan yang dibuat oleh Negara berbasis pada kepentingan serta kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya, apa yang didengungkan oleh Negara berbanding terbalik dengan kebijakan yang mereka buat. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat malah menjadi objek yang paling jauh dari kebijakan buatan pemerintah. Misalnyanya saja pada beberapa kasus penggusuran, selalu rakyat kecil yang dikalahkan oleh si pembuat kebijakan. Atau dalam wacana perbaikan infrastruktur, sebut saja pada pemberhentian secara sepihak trayek angkut bus kota pada jalur yang bersinggungan dengan Transjakarta jurusan PinangRanti-Pluit. Kebijakan ini sama sekali tidak memikirkan nasib sopir atau kenek bus kota yang didominasi oleh masyarakat lapisan kelas bawah. Sudah bukan wacana baru lagi, kalau realita selalu menepatkan kebijakan pemerintah sebagai musuh bagi rakyat kecil.

Ketertindasan yang terjadi pada rakyat kecil, bukanlah sepenuhnya salah pihak penguasa dan pengusaha. Rendahnya kesadaran masyarakat akan posisi mereka sebagai subjek radikal dalam sistem demokrasi Indonesia menjadi salah satu faktor lemahnya rakyat dimata pemerintah. Pada dasarnya rakyat Indonesia kurang pemahaman serta kesadaran akan demokrasi itu sendiri, istilahnya rakyat tidak peka akan kekuatannya sendiri. Masyarakat saat ini, khususnya kaum muda sangat jarang yang peduli akan hal ini. Kaum muda saat ini terbilang apatis, hal tersebut tidak lepas dari pengaruh kapitalisme yang telah berpola dalam alam pemikiran masyarakat saat ini. Serta kurangnya pendidikan ataupun pembelajaran demokrasi yang seharusnya menjadi tonggak penggerak tumbuhnya kesadara kritis masyarakat. Ketimbang harus capek-capek memperjuangkan keadilan serta hak sebagai rakyat, masyarakat lebih memilih untuk nerimo dan tertindas. Padahal dengan berdemokrasi, rakyat dapat meminta hak serta kedudukannya kembali.

Pada hakikatnya, sistem pemerintahan demokrasi memberikan kebebasan penuh pada rakyat. Kebebasan untuk berpikir, bicara, berpendapat, berorganisasi, dan memilih. Sebuah kebebasan yang bermuara pada kesadaran kritis individu akan ketertindasan serta ketidakadilan yang terjadi didepan matanya. Kebebasan yang membuka peluang seluas-luasnya pada rakyat atas tindakan kritis sebagai pintu untuk melakukan perlawan serta mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun mayoritas masyarakat Indonesia kurang atau bahkan tidak menyadari itu. Kita cenderung terbuai ataupun terbiasa dengan kontruksi serta determinasi dari Negara. Itulah mengapa kesadaran demokrasi di Indonesia dikatakan rendah, kalaupun ada organisasi, sangat jarang organisasi yang concern dalam ranah perjuangan kelas, terlebih organisasi bentukan masyarakat dalam hal ini kalangan intelektual muda.

Selasa, 08 Februari 2011

Penelitian Camp Penyiksaan Tapol di Lapas Pemuda Tangerang

Laporan wawancara : Minggu, 2 April 2010
Narasumber : 1. Bpk. Bedjo Untung (tapol dari gelombang tahun 1972-1979)
2. Bpk. Eko Wardoyo (tapol dari gelombang tahun 1972-1979)
3. Bpk. Udin (tapol dari gelombang tahun 1966-1972)

Banjir darah menjangkit di Tangerang,tragedi itu terjadi pada kurun waktu antara tahun 1965-1978 di Lapas Pemuda Tangerang. Sebuah pelanggaran HAM berat yang merupakan buah dari proyek Orde Baru, proyek tersebut memposisikan para tahanan politik sebagai korban kebiadabannya. Proyek tersebut adalah proyek kerja paksa dengan lahan garapan tanah milik departemen Kehakiman. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh relawan YPKP’65 kepada beberapa tahanan politik yang pernah merasakan penyiksaan dalam Lapas Tangerang yang dulu bernama Rumah Tahanan Chusus (RTC), dalam kurun waktu yang telah disebutkan diatas RTC Tangerang telah menjadi lahan penyiksaan serta pembunuhan massal oleh para oknum tentara saat itu. Menurut para saksi, terdapat sebuah lahan tempat penguburan massal di kawasan dekat RTC Tangerang. Area kuburan massal tersebut diperkirakan ada di dekat LP. Perempuan Tangerang, lahan tersebut kini telah menjadi pemakaman umum yang dikelola oleh seorang ibu bernama Ani.

Camp Konsentrasi Rumah Tahanan Chusus (RTC) Tangerang
RTC Tangerang merupakan sebuah lapas yang diperuntukkan sebagai Camp Konsentrasi bagi tahanan politik yang dinilai terlibat dengan peristiwa pemberontakan Gestok 1965 serta mereka yang dinilai memiliki kaitan dengan PKI. Mereka ditangkap dengan tuduhan sebagai pemberontak Negara dan mereka ditahan untuk kesalahan yang tidak mereka lakukan. Bung Udin ditangkap tanpa alasan dari Unilever, beliau dibawa ke Puterpra, Kodim 0506, langsung dimasukan ke Salemba baru setelh itu dibung ke RTC Tangerang. Lain halnya lagi dengan Bung Eko, beliau ditangkap karena disekitar tempat tinggalnya (Ragunan) merupakan area aktifitas gerakan-gerakan pemuda, salah satunya adalah Gerakan Pemuda Rakyat. Pada saat itu beliau merupakan Ketua Koordinasi Pemuda Rakyat untuk pasukan latihan di Lubang Buaya yang kemudian akan dikirim untuk mempersiapkan Ganyang Malaysia. Di Lubang Buaya pasukan ini dilatih oleh Bapak Joyo (Trisno), setelah pelatihan tersebut semua pemuda yang mengikuti pelatihan tersebut tiba-tiba ditangkapi untuk kemudian ditahan sebagai tapol. Kembali kepada RTC, lapas Tangerang tersebut menjadi sebuah wadah dalam rangka proyek kamuflase. Mengapa dikatakan demikian, karena proyek yang tadinya merupakan sebuah proyek pertanian dalam rangka mensejahterakan para tapol yang semakin membludak, berubah haluan menjadi lahan korupsi serta camp kerja paksa.Para tapol dieksploitsi sebagai penggarap lahan tandus demi hasil yang hanya masuk ke kantong-kantong elit saat itu. Dari hasil wawancara relawan YPKP’65 terhadap Bpk.Eko Wardoyo (salah satu tapol dari kurun waktu 1972-1979), beliau mengungkapkan bahwa ada dua buah Blok dalam RTC Tangerang, blok B dan C. Blok C (52 sel) dikhususkan bagi tapol yang dianggap kelas berat (memiliki ideology tinggi) sedangkan Blok B (52 sel) dikhususkan bagi tapol yang dinilai agak ringan dalam hal pemikiran ataupun keahlian serta mereka siap untuk diperkerja paksakan diladang tandus milik tanah Kehakiman. Bapak Eko, menjadi salah satu penghuni dilapas Blok B dan dipekerjakan sebagai tapol perda (pertanian dalam). Pada tahun 1972 tersebut setiap sel ditempati oleh 1-2 orang tahanan politik. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Mulai dari penyiksaan secara fisik maupun psikis, beliau sendiri dikunci dalam sel setiap harinya, hanya diperbolehkan mandi dan makan selebihnya beliau habiskan harinya dalam sel terkunci. Pada malam hari, tidak ada seorangpun yang diperbolehkan keluar dari sel bahkan untuk buang air sekalipun, alhasil Bung Eko terpaksa membuang airnya dalam bungkusan-bungkusan plastik yang beliau gantung didekat pintu sel. Bau kotoran yang menemani tidur sudahlah menjadi sebuah keseharian, biadab memang. Pada pagi sampai sore hari, aktifitas yang dijadwalkan oleh RTC ini adalah kerja paksa untuk menggarap lahan tandus disekitar Lapas agar menjadi ladang dengan alat seadanya. Penghuni lapas ini dibbedakan menjadi 2 kelas, yang pertama adalah para napi (tahanan kriminal) dan tapol (tahanan politik). Para Napi tindak kriminal ditugaskan untuk menyiangi ladang yang berada di area lahan tepat disamping Lapas, sedangkan para tapol setelah apel pagi, mereka dibariskan lalu diarak berjalan sepanjang kira-kira….km untuk menggarap lahan yang berada dikawasan area 1 dan area2. Lahan area 1 berada di daerah Cikokol dan lahan area 2 berada diladang dekat LP.Perempuan Tangerang. Tanah tersebut awalnya merupakan lahan milik Departemen Kehakiman, dan karena proyek kerja paksa ini maka lahan tersebut diambil alih oleh ABRI untuk kemudian dieksploitasi oleh Kodam.

Sel Neraka
Tidak jauh berbeda dengan RTC lainnya, sel merupakan neraka bagi para tapol. Sel terbuat dari besi dengan ukuran antara 3x2 meter , pengap tanpa ventilasi dengan desain penjara ala Belanda. Dalam kurun waktu 1966-1972, menurut kesaksian dari Bapak Udin, sel di RTC Tangerang pada saat beliau dipindahkan kesana (1966), kondisi penjara serta sel tidak terawat, sel dipenuhi pendatang baru (mayoritas limpahan dari RTC Salemba). Alhasil para tapol yang termasuk pendatang baru termasuk Bpk. Udin didalamnya dipaksa tidur dalam sebuah ruang yang tidak cukup besar tanpa alas. Ruang tersebut terkenal dikalangan tapol sebagai ruang sandiwara, ruangan tersebut dipenuh sesaki oleh para tapol. Mereka tidur bertumpuk dan tergelatak berjejer tanpa ruang gerak, Bapak Udin mengistilahkan ruangan ini sebagai geladak kapal dan posisi tidur mereka seperti ikan pepes. Ruang sandiwara ini dikunci setelah apel sore, jika ruangan telah dikunci otomatis tidak ada tapol yang berani untuk meminta izin keluar dan alhasil mereka harus melakukan semua aktifitas yang ingin mereka lakukan didalam sel. Termasuk buang air, semuanya harus ditampung sendiri. Mereka buang air dan mewadahi kotoram mereka dalam kantong-kantong plastik, dikumpul atau dipul (istilah bapak Udin) dekat pintu dan keesokan paginya baru bisa mereka buang. Tak terbayangkan derita pisik maupun psikis yang harus mereka tanggung dengan ratusan kantong plastik berbau tidak sedap serta sumber sarang kuman penyakit menjadi kawan tidurnya setiap hal.


Salemba 1966 “Muntahan Salemba”

Membludaknya RTC Salemba pada tahun 1966 menjadi salah satu cikal bakal diadakannya proyek Rumah Kerja Paksa Tangerang. Menurut kesaksian dari bapak Udin, pada tahun 1966 (ketika beliau masih menjadi tahanan di Salemba), beliau menyaksikan bahwa RTC Salemba sudah dipenuh sesaki oleh para tahanan politik dari berbagai daerah. Mereka menumpuk di Salemba sampai makan serta kesehatan merekanpun diabaikan, maka dari itu ada beberapa tapol yang sakit serta meninggal. Masih dalam kesaksiannya, beliau menuturkan bahwa tidak ada fasilitas kesehatan sehingga tapol harus mengobati penyakitnya sendiri, bahkan mereka tidak dapat mencukur rambut mereka sehingga terjadi gondrong muka saat itu dan mereka terpaksa mencukur dengan beling. Salemba menjadi terminal bagi tapol yang akan dipindahkan ke Tangerang, menurut Bapak Eko Wardoyo yang juga menjadi tahanan di Salemba 1968-1970an, saat itu terjadi kelaparan di Salemba. Hal tersebut dikarenakan tidak ada makanan dari petugas LP, para tahanan menjadi strees dan dimasa itu 1-3 orang tapol meninggal hampir disetiap harinya. Masih menurut penuturan beliau, saat itu para petugas sengaja membuat tapol terutama di Blok N (Blok Penyiksaan yang berisikan tapol dengan kejahatan yang dinilai berat) agar menjadi strees, selain tentara yang meningkat serta semakin memperlakukan para tapol dengan kejam, para tapol juga sering dipindah-pindahkan dari satu Blok ke Blok lainnya dalam waktu cepat. Hal tersebut membuat mereka bingunga dan strees lagipula mereka juga tidak diizinkan untuk bertemu dengan keluarga yang ingin menjenguk mereka. Hal tersebut menjadi tekanan secara psikis bagi para tapol yang memang sudah tertekan secara fisik. Masih dalam kesaksian yang sama, bapak Eko juga mengatakan bahwa pada tahun 1971an Blok N Salemba dipenuhi oleh ribuan tahanan politik dengan setiap selnya diisi oleh 5-9orang padahal kapasitas sel hanya untuk maksimal 2 orang. Di Salemba pun beliau sempat mendapatkan penyiksaan fisik dengan dalih interogasi karena kedekatan beliau dengan Letkol Untung Sugih, dalam interogasi tersebut beliau ditendang, dipukul kepalanya dengan kursi kayu, dan disiksa sampai payah baru kemudian dikembalikan ke sel (itupun dibawa oleh rekan tapol lainnya).

Ketika Mereka Ingin Ada yang Salah (Introgasi Berdarah RTC Tangerang)
RTC Tangerang adalah saksi bisu kekejaman Orde Baru dalam rezim Soeharto, selain keterbatasan fasilitas di LP, kerja paksa, kelaparan dan wabah penyakit, para tapol juga disiksa layaknya binatang. Menurut kesakasian bapak Eko Wardoyo, terjadi banyak penyiksaan terhadap dirinya terutama bagi mereka yang ditahan di Blok B. Beliau sempat dibawa ke Blok C yang kemudian disiksa disana oleh Mayor Saud, beliau ditampar dan ditendang ampai payah baru kemudian dikembalikan ke sel di Blok B. Tidak hanya Mayor Saud, beliaupun pernah diinterogasi oleh seorang petugas yang bernama Sani Gonjo. Dalam interogasi atau pemeriksaan tersebut, beliau di hajar bertubi-tubi sampai payah berikut ditendang dan disetrum demi sebuah pengkuan yang tidak beliau lakukan. Menurut pengakuan bapak Bedjo Untung, ketika itu mereka harus mengangkat sebuah tong atau drum air besar dengan tinggi hampir 100 meter dan berdiameter 1 meter, drum tersebut harus digotong dengan kayu dan tidak boleh ada sedikit airpun yang jatuh, jika ada air yang tumpah maka para tapol akan digebuki.
Kelaparan dan Wabah Penyakit di Camp Konsentrasi Tangerang
Gelombang 1966 di RTC Tangerang tidaklah kalah mengerikan bagi para tapol, menurut bapak Udin, saat itu beliau adalah tapol yang dipekarjakan sebagai kepala dapur dan setiap harinya para tapol hanya dijatahi makan 300 gram beras /hari dengan lauk pauk Rp.4/hari (lauk pauk biasanya berupa ikan asin yang sudah busuk, dan diberikan setiap jam makan). Sebelum menyiapkan makanan untuk para tahanan, beliau harus melakukan penebangan kayu karet di daerah Serpong. Beliaupun masih jelas mengingat mengenai derita para tapol saat itu yang kurang makan serta gizi, bahkan tidak sedikit tapol yang kurus kering lalu meninggal kelaparan. Selain kelapran, para tapol dikalai itupun menderita penyakit disentri, biri-biri, dan penyakit kurang gizi lainnya. Karena tidak adanya pengobatan dari lapas, memaksa merek melakukan pengobatan sendiri melalui akupuntur serta bahan obat tradisional lainnya. Secara simbolis, RTC Tangerang memiliki kamar (blok rumah sakit) tetapi ditempat tersebut tidak ada obat ataupun dokter yang mau membantu para tapol yang terserang penyakit. Dokter yang bertugas saat itu adalah dokter Lukitaminarja (Likianki). Pada saat itupun bapak Udin sempat mengalami sakit darah rendah serta gagar otak yang parah (buah dari pemeriksaan ataupun interogasi yang hampir terjadi tiap malamnya). Beliau sempat dibawa ke RS.Gatot Subrorto namun ditolak ketika mengetahui bahwa beliau merupakan salah satu tapol penghuni RTC Tangerang. Begitu kuatnya diskriminasi yang dilakukan oleh berbagai instansi terhadap mereka yang berlebel tapol, bahkan mereka tidak dianggap manusia. Akhirnya beliau dibawa kembali ke RTC tanpa adanya pengobatan dan hanya dibantu oleh rekannya Hardono serta Darminto melalui akupuntur. Kelaparan, Penyiksaan fisik, serta wabah penyakit menjadi faktor kuat terbunuhnya 2 tapol setiap harinya. Belum lagi mereka yang mati ketika kerja paksa diladang, menurut kesaksian beliau, saat itu ada ribuan tapol yang mati terbunuh. Jika ada tapol yang mati, maka mayatnya akan langsung dibuang, untuk mereka yang memiliki identitas Jakarta jika keluarganya dating maka akan dikembalikan kekeluarganya namun bagi mereka yang tidak memiliki identitas jelas apalagi tinggalnya diluar kota maka jangan harap akan dikuburkan secara baik-baik. Mayat-mayat itu ditumpuk lalu dikuburkan secara massal ke area-area yang dirahasiakan. Menurut pendapat bapak Udin, dari selentingan yang beredar, mayat-mayat itu dikuburkan di Encle daerah Kapling dan TPU Selapanjang. Petugas lapas hanya mengatakan bahwa mayat-mayat tersebut dikuburkan di Kober tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Menurut bapak Bedjo Untung dari beberapa kesaksian yang beliau dengar, lokasi kuburan massal tersebut berada tidak jauh dari lapas Perempuan Tangerang.

Pembebasan
Menurut kesaksian Bung Bedjo dan Bung Udin, mereka baru dibebaskan pada tahun 1979, mereka dibebaskan karena adanya intervensi dari dunia internasional terutama Palang Merah Internasional atas pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap para tapol. Sampai pada akhirnya mereka dibebaskan menurut kesaksian bapak Bedjo, pada saat itu hanya dirinyalah yang tidak dibebaskan, dirinya dijadikan jaminan agar RTC Tangerang tidak ditutup, sesudah itu baru beliau dibebaskan. Sebelum dibebaskan dari RTC Tangerang , para tahanan politik dipaksa untuk menandatangani perjanjian yang sangat tidak represif, berikut isi perjanjian tersebut :
1. Para tapol yang sudah bebas tidak boleh mengungkapkan rahasia-rahasia Negara,( termasuk segala pelanggaran HAM yang terjadi ketika mereka diculik, ditangkap, disiksa, dibunuh dengan kejahatan yang tidak mereka lakukan )
2. Para tapol tidak boleh dan tidak berhak menjadi pegawai Negara
3. Para tapol tidak boleh dan tidak berhak menjadi abdi Negara
Perjanjian diatas dengan jelas telah mendiskriminasi serta mencabut ha-hak mereka sebagai manusia dan warga Negara Indonesia. Dan ada yang tidak kalah konyol, setiap KKTP milik mantan tapol ini diberi tanda TP yang artinya Tahanan Politik. KTP tersebut sama artinya dengan kartu pencabutan hak-hak mereka sebagai warga Negara. KTP tersebut merupakan suatu bentuk tekanan Negara terhadap para mantan tahanan politik dan cap serta label sebagai tahanan politik menjadi senjata bagi Negara dan masyarakat untuk dapat mendiskriminasikan hak mereka dalam ranah apapun.

Bocah pemilik senyum terindah sedunia

Bocah berusia 11 tahun itu bernama Supriyadi, benih jejaka Pasundan yang berhasil membuat saya terbuai dalam detik-detik bersamanya. Ya..dialah teman baru saya. Seorang anak yang tiba-tiba memperkenalkan dirinya denga fasih, bangga, disertakan senyum renyah dari gigi kuningnya. Gigi yang ompong dan banyak sisa cemilan hari kemarin bergelayut disela-selanya. Pagi itu tiba-tiba dia datang menghampiri tenda kami. Duduk didekat sisa perapian yang kami buat semalam, sambil membawa botol air mineral ukuran 1 liter. Botol itu dipenuhi air jernih dari aliran anak sungai Curuk Nangka. Botol yang dia tenteng kesana kemari dengan bangganya. Pertama melihatnya saya langsung menyukainya, dia berhasil menghipnotis kami di pagi itu dengan logat khas Sunda dan guyonan lugunya yang membuat bibir saya semakin lebar. Dalam detik-detik itu Supri berhasil menghipnotis kami, dalam menit-menit itu Supri berhasil menjadi teman kami, dan dalam jam-jam itu kami seperti telah lama mengenalnya. Kami menunggu pagi dengan mengobrol bertiga didekat perapian, sambil merasakan udara sejuk yang menyelimuti kaki Gunung Salak kala itu. Tak lama kemudian, kami memutuskan untuk naik keatas, menikmati kemolekan Curug-curug yang airnya bening berguguran. Supri begitu senang ketika kami mengajaknya keatas bersama, tanpa ragu dia langsung membuang botol air mineralnya. Dia seperti menemukan teman, begitu pula dengan kami. Supri pun ikut bersama kami, dalam perjalanan menuju curug-curug tersebut, Supri tak hentinya bercerita. Gayanya sangat asing ditemui dalam sosok bocah kota Jakarta yang terlampau eksklusif. Supri begitu ramah, kami serasa touris yang sedang mendapatkan penjelasan dari si empunya daerah. Lucu memang karena dia memang lucu. Bahkan dia menyuruh saya minum dari mata air yang menetes disela-sela dinding tebing, kebetulan saat itu kita lupa membawa air. Dia terus bicara, mulai dari bekas tipe-x dirambut kasarnya, monyet-monyet di Curug Nangka yang suka mencuri makanan, jejak-jejak pohon yang tumbang, rumahnya yang terletak di desa Sinarwangi, ayahnya yang telah meninggal dunia, ibunya yang bekerja serabutan, serta kedua kakaknya yang merantau ke Bandung. Bahkan dia berkisah tentang Jakarta, seolah-olah dia pernah kesana “Jakarta mah macet, panas, banyak gedung, riweh, mahal” begitu ucapnya, saya hanya bisa tertawa mendengarnya.
Pagi itu terasa jauh berbeda, sudah berkali-kali saya ke tempat ini, tapi Supri memberikan warna baru dalam berjalanan ini. Sampai jumpa bocah pemilik senyum paling indah sedunia.